Rabu, 04 Juni 2008

Sejarah Nabi Muhammad SAW (ed.01)

Kelahiran Muhammad

Bangsa Arab di zaman dahulu memiliki kebiasaan menjadikan kejadian besar yang ada sebagai patokan penanggalan. Peristiwa penyerangan pasukan Gajah pimpinan Abrahah yang berniat menghancurkan Kabah di kota Mekah, dianggap sebagai sebuah peristiwa besar yang layak dijadikan patokan penanggalan. Di tahun pertama penanggalan Gajah ini, di kota Mekah dan di tengah keluarga Abdul Mutthalib, lahir seorang bayi yang kelak akan mengubah perjalanan sejalah manusia. Dialah Muhammad putra Abdullah bin Abdul Mutthalib.
Kelahiran bayi ini disambut dengan suka cita oleh keluarga bani Hasyim. Di negeri Persia, kelahiran Muhammad bin Abdillah memadamkan api keramat yang selama seribu tahun tidak padam. Kelahiran Muhammad juga menggoyahkan sendi-sendi istana kaisar Rumawi. Muhammad lahir dengan membawa janji risalah terakhir dari Allah untuk umat manusia.
Masa sebelum kenabian lazim disebut nama jahiliyyah. Kata jahiliyyah diambil dari kata jahl yang berarti bodoh. Dengan demikian, zaman jahiliyyah berarti zaman kebodohan. Memang, bangsa Arab di zaman itu layak mendapat sebutan ini. Karena selain memang tidak mengenal baca tulis, bangsa yang hidup di jazirah Arabia ini juga memiliki kebiasaan dan perilaku bodoh.
Menjadikan berhala-berhala buatan sendiri sebagai tuhan untuk disembah dan dipuja, mengubur anak perempuan hidup-hidup dan bertawaf mengelilingi Kabah dengan cara bertelanjang, merupakan salah satu contoh dari perbuatan bodoh bangsa ini di zaman itu. Muhammad lahir untuk mengikis kebodohan bangsa Arab dan umat manusia secara umum dengan cahaya iman dan ilmu.
Sejak lahir, Muhammad telah menunjukkan kelebihan yang khusus. Kehidupannya yang dimulai dengan keyatiman karena ayahnya telah meninggal dunia sebelum beliau lahir, penuh dengan kesusahan. Kesusahan inilah yang menempa diri Muhammad dan mempersiapkannya untuk menjadi manusia besar dan pemuka bagi seluruh umat sepanjang zaman. Empat tahun, Muhammad hidup terpisah dari sang ibu, Aminah binti Wahb dan tinggal di tengah keluarga Halimah as-Sa’diyah. Setelah berumur empat tahun dengan berat hati, Halimah melepas Muhammad dan mengembalikannya kepada sang ibu.

Yatim Piatu
Dua tahun kemudian, Aminah wafat, dan Muhammad diasuh oleh kakeknya, Abdul Muththalib yang amat menyintai dan menghormatinya. Abdul Mutthalib yang juga pemuka kaum Quresy telah meramalkan bahwa cucunya ini kelak akan menjadi pemimpin besar bagi umat manusia. Karena itulah, kakek tua yang amat berwibawa ini menghormati dan menyintai Muhammad lebih dari cucu-cucunya yang lain.
Diriwayatkan bahwa suatu hari Muhammad duduk di tempat yang dikhususkan untuk Abdul Mutthalib. Orang-orang bangkit untuk melarangnya, tetapi Abdul Mutthalib mengatakan bahwa Muhammad sangat layak untuk duduk di tempat itu.
Namun keteduhan payung Abdul Mutthalib tidak berumur panjang. Menginjak usia delapan tahun, Muhammad harus merelakan kepergian kakeknya itu. Akhirnya Muhammad tinggl dan diasuh oleh Abu Thalib pamannya yang menyintainya lebih dari anak-anak sendiri. Di rumah Abu Thalib inilah, beliau tumbuh hingga menginjak usia remaja remaja.
Saat berusia 12 tahun, Muhammad ikut menyertai pamannya, pergi ke Syam untuk berniaga. Sudah menjadi kebiasaan kafilah dagang dari Mekah untuk singgah beristirahat di tempat pen-de-ta Buhaira. Kafilah Abu Thalib pun singgah di sana. pen-de-ta Buhaira menyambut kedatangan kafilah itu dengan tangan terbuka. Namun sang pen-de-ta merasa ada keanehan. Kepada Abu Thalib dia mengatakan bahwa dirinya menyaksikan sesuatu yang menakjubkan di kafilah ini.
Abu Thalib yang tidak mengetahui apa maksud sang pen-de-ta menyatakan bahwa dirinya tidak merasakan adanya keanehan. Hanya saja dia meninggalkan kemenakannya yang bernama Muhammad di dalam kemah.
Mendengar hal itu, Buhaira meminta Abu Thailb untuk membawa Muhammad masuk ke rumahnya. Melihat remaja tampan dan sopan itu, Buhaira meminta izin Abu Thalib untuk mengajaknya berbicara secara khusus. Sang pen-de-ta membawa Muhammad ke tempatnya. Gerak-gerik, tutur kata dan jengkal demi jengkal tubuh Muhammad diperhatikannya. Selanjutnya Buhaira memanggil Abu Thalib dan berkata, “Wahai Abu Thalib, kelak kemenakanmu ini akan diangkat menjadi nabi. Dialah nabi yang dinanti-nantikan kedatangannya. Karena itu, bawalah dia kembali ke Mekah dan jangan biarkan kaum Yahudi di negeri Syam menyakitinya.”
Sesuai dengan anjuran pen-de-ta Buhaira, Abu Thalib membawa Muhammad kembali ke Mekah.

Gelar al-Amin
Muhammad tumbuh besar menjadi pemuda yang dikenal dengan kejujuran, sehingga beliau mendapat gelar Al-Amin yang berarti orang yang terpercaya. Bagi masyarakat kota Mekah, tidak ada orang yang bisa dipercaya lebih dari Muhammad Al-Amin. Karena itu, ketika Abu Thalib mengusulkan kepada Khadijah binti Khuwailid untuk menjadikan Muhammad sebagai kepercayaan dalam perniagaannya, usulan itu disambut dengan merta merta. Pada usia 25 tahun, Muhammad melakukan perjalanan niaga ke Syam dengan membawa barang dagangan milik Khadijah, wanita kaya di kota Mekah yang amat disegani.
Untuk memudahkan pekerjaan, Khadijah mengirimkan suruhannya bernama Maisarah untuk menyertai dan membantu Muhammad. Kesopanan pemuda bergelar Al-Amin ini, kejujuran dan kepiawaiannya dalam berdagang menarik perhatian Maisarah. Perniagaan ini, membawa keuntungan yang banyak meski dalam berdagang, Muhammad sangat memperhatikan masalah kejujuran. Seluruh kisah perjalanan ini diceritakan oleh Maisarah kepada Khadijah.

Menikah Dengan Siti Khadijah AS
Dengan usul Abu Thalib dan sambutan Khadijah, Muhammad datang meminang wanita mulia ini. Perkawinan antara Muhammad Al-Amin dan Khadijah, disaksikan oleh para malaikat di langit dan bumi. Dari dua manusia mulia ini, kelak akan lahir seorang putri yang menjadi penghulu wanita seluruh jagat, yaitu Fatimah Az-Zahra.

Masa Muda Al-Amin dan Risalah Ilahiyah
Sejak kanak-kanak hingga menginjak usia dewasa, Muhammad dikenal oleh masyarakat sebagai seorang yang memiliki kepribadian agung, jujur, penyantun, gemar menolong mereka yang memerlukan dan berhati besar. Ketinggian akhlak beliau membuat kagum bangsa Arab khususnya suku Quresy di Mekah. Berbeda dengan para pemuda dan masyarakat di zaman itu, Muhammad tidak tertarik kepada kehidupan yang hanya mengejar kesenangan duniawi.

Pemuda putra Abdullah bin Abdul Mutthalib ini gemar menyendiri di lereng-lereng gunung atau di gua Hira untuk menghindari kehidupan syirik dan menyibukkan diri dengan beribadah dan bermunajat kepada Allah. Muhammad biasanya pergi ke gua Hira dengan membawa bekal dan akan turun ke kota jika perbekalan habis. Pergi ke gua Hira, menyendiri dan bermunajat di tempat yang sepi itu seorang diri akhirnya menjadi kegiatan rutin pemuda bergelar Al-Amin ini.

Di Hira, Muhammad menemukan ketenangan tersendiri yang tidak ia dapatkan di Mekah. Akhirnya, pada suatu hari ketika usianya menginjak 40 tahun, saat berada di dalam gua hira, Muhammad mendengar suara yang mengajaknya untuk membaca. Untuk pertama kalinya, Muhammad menerima ayat yang turun dari Allah swt. Iqra bismi rabbikalladzi khalaq, Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Ayat ini adalah yang pertama kalinya turun kepada Muhammad yang menandai kenabiannya.
Tidak sedikit orang yang mempersoalkan mengenai agama Nabi Muhammad SAW sebelum menerima risalah kenabian. Permasalahan mengusik hati ketika menyaksikan bahwa di zaman jahiliyyah, bangsa Arab khususnya di kota Mekah, tempat Rasulullah SAW menjalani kehidupannya, adalah bangsa penyembah berhala. Masing-masing kelompok dan kabilah memiliki berhala tersendiri yang diletakkan di dalam ka’bah atau di komplek masjidul haram. Sementara masing-masing orang memiliki berhala yang khusus yang disimpan di rumah masing-masing atau di kantong khusus agar bisa dibawa ke mana-mana.

Masalah inilah yang lantas melahirkan pertanyaan mengenai agama yang dianut oleh Rasulullah SAW sebelum diangkat menjadi nabi. Masalah kondisi di zaman jahiliyah dan penyembahan berhala yang dianut oleh bangsa Arab secara umum, adalah fakta sejarah yang tidak mungkin ditolak. Namun harus diingat bahwa di jazirah Arabia juga ada agama lain semisal agama Nasrani, Yahudi dan agama Ibrahimi.

Penduduk Najran rata-rata beragama nasrani, sementara di kota Yasrib, nama lain kota madinah, terdapat beberapa kabilah yang menganut agama Yahudi. Selain dua agama itu, tidak sedikit pula yang menganut ajaran Nabi Ibrahim as. Agama Ibrahimi ini dianut oleh sebagian besar bani Hasyim. Bukankah ketika Abdul-Muththalib menamakan anaknya dengan nama Abdullah yang berarti hamba Allah, menunjukkan bahwa tuhan yang sebenarnya di mata Abdul Mutthalib adalah Allah, bukan selain-Nya.

Ketika Allah mengangkatnya menjadi nabi dan utusan-Nya, Muhammad mengatakan kepada umat bahwa dia membawa ajaran Ibrahim. Seruan ini dikarenakan umat mengenal akan keberadaan ajaran yang demikian. Amalan ibadah seperti ha-ji, umrah dan semisalnya yang juga dianut oleh bangsa Arab Jahiliyyah merupakan sisa-sisa ajaran Ibrahim as yang terus dijalankan meski dengan cara yang berbeda dengan ajaran sebenarnya. Semua ini menunjukkan bahwa tidak semua orang Arab di zaman itu menyembah berhala. Jika hal ini bisa diterima, muncul pertanyaan;
Masuk akalkah, orang yang bakal membawa ajaran agama ilahi yang paling sempurna, tetapi tidak mengikuti ajaran Ibrahim dan terjerumus ke dalam kesyirikan penyembahan berhala?

Jika Muhammad pernah menyembah berhala, tentunya, saat beliau menyeru kaum Quresy dan bangsa Arab untuk meninggalkan berhala, mereka akan mengingatkan bahwa dia sendiri pernah menyembah berhala. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib pernah bertanya kepada Rasulullah, “Ya rasulullah, apakah engkau pernah menyembah berhala?”
Beliau menjawab, “Sama sekali tidak.”
“Apakah engkau pernah meminum khamar?”
beliau juga menjawab, “Sama sekali tidak pernah.”
Dengan turunnya firman ilahi kepadanya dan turunnya perintah untuk mengajak kaumnya kepada penyembahan tuhan yang maha esa, Nabi Muhammad SAW menyampaikan misi mulia dan agung ini kepada sanak keluarganya. Orang yang pertama-tama menerima ajakan ini adalah Khadijah istri setia Rasulullah dan Ali bin Abi Thalib yang hidup dalam bimbingan dan asuhan beliau. Ajakan dan seruan Nabi ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan kepada keluarga dekatnya.
Proses dakwah secara sembunyi-sembunyi ini berlangsung selama tiga tahun, sampai akhirnya Allah swt menurunkan ayat yang berisi perintah untuk secara terbuka menyampaikan risalah ilahi ini kepada umat.

Dengan berdiri di atas sebuah bukit, Rasulullah SAW bertanya kepada kaumnya, “Wahai sekalian suku Quresy, jika akan katakan bahwa di belakang bukit ini ada pasukan musuh yang datang menyerang, apakah kalian akan mempercayai kata-kataku?”
Mereka menjawab, “Ya, pasti, sebab engkau adalah orang yang paling jujur.”
Rasulullah berkata lagi, “Jika demikian, ketahuilah bahwa aku membawa risalah dan ajaran dari Tuhan untuk kalian semua.” Rasulullah menjelaskan risalah yang beliau pikul kepada kaum Quresy. Akan tetapi berbeda dengan pernyataan awal mengenai kejujuran Muhammad Al-Amin, kali ini kaum Quresy yang dimotori oleh para pemukanya yang kafir semisal Abu Sufyan, Abu Jahal dan lainnya menuduh putra Abdullah ini telah membuat kebohongan besar.

Sejak saat itulah, dakwah kepada agama Islam dilakukan secara terbuka. Seiring dengan sambutan orang-orang yang berhati bersih kepada ajaran ini, sikap penentangan dan permusuhan kaum kafir terhadap ajaran ilahi ini juga semakin meningkat. Para pemuka Quresy yang merasa posisi dan kedudukan mereka terancam dengan adanya ajaran ilahi ini, serta merta megambil sikap frontal terhadap Muhammad, para pengikut dan ajarannya. Dengan memanfaatkan kedudukan, uang dan kekuatan, kaum kafir melakukan penyiksaan terhadap para pengikut ajaran islam.
Bilal bin Rabbah bekas budak Umayyah bin Khalaf, juga Yasir, istrinya Sumayyah dan anaknya Ammar adalah contoh dari kaum muslimin lemah yang menjadi korban penyiksaan. Bahkan Sumayyah dan Yasir gugur syahid setelah menjalani penyiksaan kaum kafir Quresy yang tidak mengenal batas kemanusiaan. Sementara Ammar terpaksa mengeluarkan kata-kata syirik dari mulutnya meski hatinya tetap memegang teguh keimanan.

Gangguan kaum kafir Quresy tidak hanya ditujukan kepada kaum muslimin, tetapi juga kepada pemimpin dan nabi pembawa risalah, Muhammad bin Abdillah SAW. Hanya saja, gangguan itu seberapa karena sikap Abu Thalib yang mati-matian membela Muhammad dan ajarannya. Bagaimanapun juga, Abu Thalib adalah figur yang sangat dihormati oleh kaum Quresy di Mekah. Berkali-kali para pembesar Quresy mendatangi Abu Thalib agar menghentikan aktifitas dakwah Muhammad yang menistakan berhala dan mengajak masyarakat kepada Tuhan yang esa. Meski demikian, Abu Thalib tetap pada pendiriannya untuk membela Muhammad dan ajarannya. Sikap Abu Thalib ini telah menyulut kemarahan para pembesar Quresy yang lantas memutuskan untuk memboikot Bani Hasyim dan para pengikut ajaran Islam.

Hijrah ke Habasyah
Pada pembahasan yang lalu telah disinggung bahwa kaum muslimin di kota Mekah, khususnya mereka yang berasal dari kalangan budak atau orang-orang yang memiliki kedudukan sosial rendah, mendapat perlakuan buruk dari kaum kafir Quresy. Tidak sedikit dari mereka yang disiksa dan ada pula yang dibunuh. Kondisi ini sangat menyulitkan umat Islam. Akhirnya, untuk melepaskan diri dari penderitaan dan untuk menjaga agar umat yang baru terbentuk tidak bisa dihancurkan, Rasulullah SAW memerintahkan sekelompok umatnya untuk berhijrah ke negeri Habasyah yang saat itu dipimpin oleh raja Najasyi.

Kelompok muhajirin ke Habasyah dipimpin oleh Ja’far putra Abu Thalib. Kepergian Ja’far dan rombongannya yang berjumlah kurang lebih delapan puluh orang ke Habasyah membuat berang kaum kafir Mekah. Merekapun mengirimkan utusan kepada raja Najasyi untuk menolak kehadiran kaum muslimin di negerinya. Permintaan Quresy tidak langsung dikabulkan oleh Najasyi. Raja yang beragama nasrani ini lantas memanggil Ja’far dan rombongannya ke istana.
Di tempat inilah dan di hadapan raja beserta para penasehat agamanya, Ja’far menjelaskan maksud kedatangannya ke Habasyah. Putra Abu Thalib ini dengan tegas mengatakan bahwa dia dan rombongannya, bukanlah budak yang lari dari tuannya atau pembunuh yang lari dari tebusan darah. Mereka lari dari Mekah hanya untuk menyelamatkan diri dari penyiksaan dan tekanan yang dilakukan para pemuka Quresy terhadap mereka. Mereka dianggap layak mendapat perlakuan buruk karena telah menyembah Tuhan yang Esa dan menolak sujud kepada berhala.

Penjelasan Ja’far bin Abi Thalib berhasil mematahkan makar utusan Quresy. Raja Najasyi memerintahkan untuk mengembalikan semua hadiah yang dikirim Quresy kepadanya. Utusan Mekah-pun meninggalkan negeri Habasyah. Untuk kaum muhajirin ini, Najasyi memberikan izin tinggal di negerinya dengan aman dan damai sampai kapanpun juga.

Pemboikotan Terhadap Bani Hasyim
Di Mekah, kaum kafir Quresy semakin kalap, kala menyaksikan jumlah mereka yang masuk agama Islam semakin bertambah. Pembesar-pembesar Mekah semisal Hamzah bin Abdul Mutthalib juga telah mengumumkan keislamannya. Hal ini membuat para pemuka Quresy berpikir untuk membunuh Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi membunuh Muhammad tidaklah mudah. Sebab, bagaimanapun juga, bani Hasyim yang termasuk kelompok bangsawan Quresy tidak akan setuju.

Quresy membujuk Abu Thalib yang dipandang sebagai pelindung utama Rasulullah agar bersedia menerima uang tebusan dua kali lipat dari tebusan biasa, dan membiarkan Muhammad dibunuh. Pembunuhnya akan dipilih dari orang di luar Quresy. Dengan demikian, pembunuhan atas diri Muhammad tidak akan berbuntut pada perang saudara di Mekah. Usulan tersebut dipandang Abu Thalib sebagai tanda keseriusan Quresy untuk membunuh Nabi. Akhirnya Abu Thalib memanggil seluruh anggota keluarga bani Hasyim agar berkumpul di lembah Abu Thalib untuk melindungi Muhammad dari upaya teror yang direncanakan Quresy terhadapnya.

Bulan Muharram tahun ke-7 kenabian, kaum kafir Quresy menyusun sebuah perjanjian yang berisi pemboikotan terhadap bani Hasyim. Berdasarkan perjanjian ini, segala bentuk jual beli, pernikahan dan hubungan dengan bani Hasyim dilarang. Pemboikotan ini telah menyebabkan bani Hasyim yang berada di lembah atau syi’b Abu Thalib kesulitan mendapatkan bahan pangan dan keperluan hidup lainnya.

Pemboikotan ini dimaksudkan untuk memaksa bani Hasyim khususnya Abu Thalib, agar bersedia menyerahkan Muhammad kepada Quresy untuk dibunuh. Tekad mereka untuk menghabisi nabi terakhir ini, sedemikian kuat sehingga Abu Thalib memperkuat penjagaan atas diri Rasulullah. Di malam hari, Abu Thalib memerintahkan salah seorang dari bani Hasyim untuk tidur di pembaringan Rasulullah, demi menjaga keselamatan Nabi bergelar Al-Amin ini.

Kondisi serba sulit ini berlangsung selama tiga tahun. Selama itulah, mereka yang berada di dalam syi’b bergelut dengan rasa lapar dan keterasingan. Pekik tangis anak-anak bayi dari keluarga bani Hasyim yang kelaparan terkadang terdengar sampai ke luar lembah itu. Bagi sebagian orang Quresy, keadaan ini sungguh menyiksa batin mereka. Karena itu, mereka sepakat untuk mencabut boikot atas bani Hasyim.

'Tahun Kesedihan ('Amul Huzn )
Tahun sepuluh kenabian, setelah bani Hasyim keluar dari syib Abu Thalib dan terlepas dari pemboikotan, Abu Thalib dan Khadijah binti Khuwailid, paman dan istri Nabi yang selama ini menjadi pelindung dan pembela risalah kenabian, meninggal dunia. Wafatnya kedua manusia agung ini menjadi pukulan berat bagi Nabi. Betapa tidak, di saat kaum Quresy berniat membunuh beliau, Abu Thalib siap berkorban untuk melindungi Rasulullah. Di saat kaum kafir memboikot Nabi secara ekonomi, Khadijah menginfakkan seluruh hartanya untuk perjuangan Islam. Tahun 10 kenabian disebut oleh Rasulullah sebagai ‘amul huzn yang berarti tahun kesedihan karena kepergian dua insan pembela risalah kenabian.

Setelah Abu Thalib dan Khadijah wafat, dan setelah menyaksikan penentangan kaum Quresy, Nabi SAW pergi ke kota Thaif untuk mengajak warga di kota itu kepada agama Islam. Tetapi warga Thaif menyambut Nabi dengan lemparan batu dan cacian. Akibat kekurangajaran warga Thaif, malaikat Jibril mendatangi Rasulullah dan meminta izin untuk menghukum mereka. Tetapi nabi yang oleh Allah disebut sebagai orang yang penyayang ini menolak sambial mengatakan, “Ya Allah ampunilah kaumnya, karena mereka tidak mengetahui kebenaran yang aku bawa.”

Keislaman Aus dan Khazraj
Setelah kembali ke kota Mekah, Nabi memfokuskan dakwahnya kepada suku-suku Arab lainnya yang berdatangan ke kota itu untuk melaksanakan ibadah ha-ji. Dari situlah, beliau berkenalan dengan orang-orang Aus dan Khazraj, penduduk kota Yatsrib yang kemudian berubah nama menjadi Madinah. Di Yatsrib, suku Aus dan Khazraj merupakan musuh bebuyutan yang sejak lama terlibat perang saudara. Di kota itu, hidup pula suku-suku beragama Yahudi yang sering mengabarkan kepada mereka akan kedatangan Nabi di akhir zaman.

Setelah berkenalan dengan Nabi Muhammad SAW dan ajara yang dibawanya, orang-orang dari Aus dan Khazraj menyatakan ikrar keimanan kepada beliau. Mereka bahkan mengingat janji dan baiat dengan Nabi. Orang-orang Aus dan Khazraj yang telah menemukan seorang pemimpin yang dapat mengakhiri permusuhan di antara mereka, menawarkan kepada Rasulullah SAW agar beliau bersedia berhijrah ke kota mereka.
Sesuai dengan tawaran itu, dan dengan perintah Allah swt, Rasul SAW memerintahkan kaum muslimin Mekah untuk berhijrah ke Madinah. Rombongan demi rombongan kaum muslimin Mekah bergerak ke arah Yastrib. Gelombang hijrah ini terus berlanjut dan berpuncak pada hijrah Nabi ke kota itu.

Hijrah ke Madinah
Hijrah yang berarti perpindahan dianggap sebagai salah satu ibadah dengan nilai pahala yang tinggi. Dalam banyak ayat Al-Qur’an Allah swt menjelaskan kemuliaan ibadah ini dan menjanjikan ganjaran yang berlipat ganda kepada mereka yang berhijrah. Sebab, selain kesulitan yang dihadapi seorang muhajir baik kesulitan karena meninggalkan negeri asal, kesulitan di negara baru dan banyak hal lain, hijrah juga dimaksudkan untuk menjaga dan memelihara agama dan risalah ilahi yang terakhir ini.

Di negeri yang baru, langkah pertama yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah membangun masjid yang merupakan pusat kegiatan Islam dan pemersatu umat. Masjid pertama yang dibangun di Madinah adalah masjid Quba’ yang oleh Allah disebut sebagai masjid yang dibangun di atas pondasi ketaqwaan. Pembangunan masjid ini dilakukan oleh seluruh umat Islam baik penduduk asli maupun pendatang. Rasul-pun ikut ambil bagian dalam membangun masjid Quba’.

Pemerintahan Nabawi
Langkah berikutnya yang dilakukan Nabi adalah memupuk persaudaraan di antara kaum muslimin. Beliau memerintahkan masing-masing sahabat untuk memilih orang yang akan dijadikan sebagai saudara. Sementara beliau sendiri memilih Ali bin Abi Thalib sebagai saudaranya. Dengan demikian, terciptalah suasana persaudaraan yang kuat di tengah umat Islam pada hari-hari pertama kehadiran Rasulullah SAW di Madinah.

Berikutnya untuk melindungi Madinah dari ancaman yang mungkin datang dari umat lain, Rasulullah SAW mengadakan perjanjian damai dengan umat Yahudi yang berada di sekitar kota Madinah. Sebagaimana yang telah disinggung, suku Aus dan Khazraj sering mendengar janji kedatangan Nabi akhir zaman dari umat Yahudi yang hidup di dekat mereka. Ada tiga kabilah besar Yahudi di Madinah, yaitu, Bani Nadhir, Bani Qainuqa dan Bani Quraidhah. Dengan ketiga kelompok ini, Rasulullah SAW mengikat perjanjian untuk tidak saling mengganggu.

Setelah langka-langkah awal diambil Rasulullah SAW menyibukkan diri dengan membimbing umat kepada ajaran yang diterimanya dari Allah swt. Di kota inilah, beliau mendapatkan wahyu-wahyu yang menjelaskan hukum-hukum syariat secara lebih luas. Wahyu inilah yang kemudian diajarkan Nabi SAW kepada umatnya.

Perang Badr
Sementara itu, dengan kepergian Nabi ke Madinah, permusuhan kaum kafir Quresy kepada umat Islam masih belum reda. Penyiksaan dan gangguan mereka kepada kaum muslimin yang masih berada di Mekah dan tidak dapat keluar dari kota itu semakin menjadi. Di lain pihak harta benda yang ditinggalkan oleh mereka yang telah berhijrah ke Madinah dirampas oleh Quresy. Hal inilah yang mendasari perintah Rasulullah SAW untuk mencegat kafilah dagang Quresy yang melintas dekat Madinah dalam perjalanan perniagaan menuju Syam atau dari Syam menuju Mekah.

Tahun kedua hijriyah, Rasulullah SAW bersama 313 sahabatnya bergerak menuju Badr untuk mencegat kafilah Quresy yang membawa harta berlimpah hasil dari perniagaan di Syam. Setelah mendengar berita itu, Abu Sufyan, yang memimpin kafilah ini, mengirimkan utusannya ke Mekah untuk meminta bantuan tentara Quresy dalam menghadapi ancaman ini.

Bagi Quresy, pencegatan kafilahnya oleh kaum muslimin tidak hanya berarti kerugian harta tetap juga kehormatan suku besar di Mekah ini. Untuk itu, Abu Jahl yang merupakan salah satu bangsawan terkemuka Quresy bersama seribu orang lengkap dengan peralatan perang meninggalkan kota Mekah dan bergerak menuju Badr. Sementara kafilah pimpinan Abu Sufyan dengan melintasi jalan alternatif berhasil lolos dari sergapan kaum muslimin. Abu Sufyan mengirimakn kurirnya untuk meminta Abu Jahl kembali kep mekah karena bahaya telah berlalu. Namun pesan itu ditolaknya. Abu Jahl bersikeras untuk berhadapan dan terlibat perang dengan pasukan Madinah. Ia berpikir, dengan demikian, umat Islam akan jera atau bahkan terhabisi.
Di Badr, pasukan muslimin yang dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW telah bersiap siaga. Pasukan kecil berjumlah 313 orang dan peralatan yang ala kadarnya, siap menghadapi seribu orang di barisan Quresy yang bersenjata lengkap. Namun keimanan yang dimiliki oleh umat Islam lah yang menjadi mesin pendorong mereka untuk tegar dan siap menanti kematian di jalan Allah yang basalannya adalah surga.

Tanggal 17 Ramadhan tahun kedua hijriyah, perang di Badr berkecamuk setelah diawali dengan duel satu lawan satu antara tiga jawara dari dua barisan. Satu demi satu korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Darah bersimbah di sana sini. Tak lama, berita tersebar bahwa Abu Jahl yang oleh Rasul disebut sebagai Firaun di tengah umat ini tewas di tangan pasukan muslimin. Terbunuhnya Abu Jahal dan beberapa pemuka Quresy di medan perang Badr menjadi pukulan berat bagi pasukan Mekah yang akhirnya memilih untuk melarikan diri.

Dalam perang Badr, pasukan Quresy menderita kerugian tujuh puluh tewas dan tujuh lainnya tertawan. Sementara barang rampasan perang yang ditinggalkan tidak sedikit. Diperkirakan sekitar 150 unta, sepuluh kuda, sejumlah kulit dan kain, serta peralatan perang ditinggalkan oleh pasukan Mekah yang lari tunggang langgang menyelamatkan diri.

Perang Uhud
Kekalahan Quresy dalam perang Badr menjadi pukulan berat bagi mereka. Betapa tidak, Muhammad dan pengikutnya yang belum lama ini menjadi bulan-bulanan tekanan dan penyiksaan kini telah memiliki kekuatan yang dapat melumpuhkan pasukan Quresy. Untuk itu, para pemuka Mekah merencanakan tindakan balas dendam. Akhirnya diputuskan, bahwa Quresy akan menyerang kaum muslimin di Madinah dengan segenap kekuatan yang ada. Maka dibuatlah persiapan yang matang. Setiap keluarga dari Quresy khususnya, mereka yang salah satu anggoatanya terbunuh di perang Badr dikenai kewajiban untuk mendanai perang besar ini.

Setelah segala sesuatunya dirasa matang, pasukan Quresy yang berjumlah 3.000 orang dengan senjata lengkap bergerak ke arah Madinah. Berita bergeraknya pasukan Quresy ke arah Madinah sampai ke telinga Rasul. Beliau lantas mengumpulkan para sahabatnya dan bermusyawarah dengan mereka. Beliau menanyakan pendapat mereka, apakah kaum kafir akan dihadapi di dalam Madinah atau di luar Madinah? Mereka yang lebih muda dan tidak hadir di perang Badr mengusulkan untuk menghadang pasukan Mekah di luar Madinah. Pendapat inilah yang lantas disahkan.

Kaum muslimin yang berjumah sekitar 1000 orang bergerak ke luar kota Madinah. Namun di tengah jalan sebanyak 300 orang termakan oleh tipu daya si munafik Abdullah bin Ubay, dan berpisah dari barisan Rasulullah. Sesampainya di kawasan gunung Uhud, Rasul memerintahkan 50 orang sahabtanya untuk mengambil posisi di bukit Ainain yang kemudian berubah nama menajdi Jabal Rumath atau gunung pemanah. Kepada mereka, beliau berpesan untuk tidak meninggalkan bukit itu, menang atau kalah.

Perang berkecamuk. Pada awalnya, pasukan muslimin berhasil memukul mundur tentara Mekah. Di saat tentara kafir meningggalkan medan, para pemanah turun dari bukit untuk mengumpulkan rampasan perang. Imbauan Abdullah bin Jubair yang menjadi komandan para pemanah kepada anak buahnya untuk kembali ke posisi asal mereka tidak digubris. Kekosongan ini dimanfaatkan pasukan berkuda Quresy untuk menyerang di balik bukit. Melihat keadaan ini pasukan kafir yang asalnya melarikan diri, kembali ke medan perang. Dengan demikian, posisi kaum muslimin terjepit.

Barisan yang asalnya teratur dan mengendalikan jalannya pertempuran kini tercabik-cabik. Tidak sedikit pejuang muslim yang lari menuju Madinah, setelah isu terbunuhnya Nabi tersebar di tengah medan. Hanya sekelompok kecil yang terus bertahan dan bertarung habis-habisan. Ketangkasan Ali dan keberaniannya dipuji oleh para malaikat. Terdengar suara yang memuji Ali dan pedangnya yang bernama Dzul fiqar, ‘La Fata Illa Ali La Saifa illa Dzulfiqar’, tidak ada yang jantan seperti Ali dan tidak ada pedang seperti Dzul Fiqar.

Sebanyak tujuh puluh orang dari barisan muslimin termasuk paman Nabi, Hamzah bin Abdul Mutthalib, gugur syahid dalam perang ini. Nabi sendiri mengalami luka yang cukup serius. Namun berkat kepemimpinan putra Abdullah ini, kaum muslimin kembali berhasil memegang kendali peperangan setelah merapikan barisan. Menyaksikan hal itu, Abu Sufyan memerintahkan kepada pasukan kafir Quresy untuk menghentikan perang dan kembali ke Mekah. Dengan demikian berakhirlah perang Uhud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar