"Saudara-saudara. Kita pemuda-pemuda rakyat Indonesia disuruh datang membawa senjata kita kepada Inggris dengan membawa bendera putih, tanda bahwa kita menyerah dan takluk kepada Inggris...."
"Inilah jawaban kita, jawaban pemuda-pemuda rakyat Indonesia: Hai Inggris, selama banteng-banteng, pemuda-pemuda Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membuat secarik kain putih menjadi merah dan putih, selama itu kita tidak akan menyerah...."
"Teman-temanku seperjuangan, terutama pemuda-pemuda Indonesia, kita terus berjuang, kita usir kaum penjajah dari bumi kita Indonesia yang kita cintai ini. Sudah lama kita menderita, diperas, diinjak-injak...."
"Sekarang adalah saatnya kita rebut kemerdekaan kita. Kita bersemboyan: Kita Merdeka atau Mati. Allohu Akbar... Allohu Akbar.... Allohu Akbar.... Merdeka..... !"
Itulah pidato yang selama ini dikenal masyarakat sebagai simbol kepahlawanan Bung Tomo (1920-1981) dalam menggelorakan semangat juang Arek-arek Suroboyo untuk menghadapi NICA pada 10 November 1945.
Namun, pidato itu hanya satu sisi dari Bung Tomo, sebab ada sisi lain yang jauh lebih menarik dan dihadirkan lewat buku bertajuk "Bung Tomo Menggugat" setebal 246 halaman yang diterbitkan "Visi Media" (Jakarta, cetakan pertama, Januari 2008).
Apalagi, Bung Tomo yang pernah menjadi menteri urusan veteran pada kabinet Burhanudin Harahap dan sekaligus menjadi anggota DPR RI pada tahun 1950-an itu ternyata cukup kritis terhadap penguasa, baik Soekarno maupun Soeharto.
Sikap kritis Bung Tomo itu terekam dalam dokumen tentang pemikiran, surat, dan artikel politik untuk Bung Karno, Pak Harto, Presiden AS Eissenhower, anggota Partai Indonesia Raya, LVRI, dan sebagainya yang ditulis ulang dalam buku yang dipersiapkan Ny Sulistina Sutomo (isteri Bung Tomo) dan Bambang Sulistomo (anak Bung Tomo).
"Gugatan Bung Tomo sangat tajam dan jelas sekali terlihat saat dia mengkritik Bung Karno dan para jenderal yang dilihatnya mengalami dekadensi moral karena melemahkan nilai keutuhan keluarga dengan beristeri lebih dari satu," kata pakar politik, Arbi Sanit, dalam kata pengantarnya.
Dalam salah satu surat terbuka kepada Bung Karno, Bung Tomo menulis, "Bung Karno, betapa saya tidak gelisah, mengingat bahwa kepala pemerintahan dewasa ini adalah penggali Pancasila, sedangkan rakyat jelata rata-rata belum merasakan kemanfaatan dan kemaslahatan Pancasila..."
"Kedaulatan rakyat telah lama diinjak-injak oleh pembantu-pembantu Bapak Presiden yang terdekat pada masa lampau, keadaan sosial tidak terlaksana sebagaimana mestinya. Pada saat rakyat jelata hidup menderita merana, orang-orang yang terdekat dengan Bapak Presiden menyusun mahligai kemewahan...."
"Yang lebih seram lagi adalah isteri-isteri para penguasa tertinggi yang secara sendiri menguras kekayaan negara untuk memuaskan nafsu pribadinya, berfoya-foya di luar negeri, menimbun kekayaan di dalam negeri! Sedangkan para penguasa berbuat seolah-olah (pura-pura) tidak tahu semuanya itu..."
Bahkan, ketika Bung Karno meninggal dunia, Bung Tomo tetap memberikan beberapa penilaian yakni kekuatan Bung Karno terletak pada kepandaiannya berpidato, setelah pengakuan kedaulatan - Bung Karno mulai didewa-dewakan, Bung Karno telah berubah menjadi seorang egois dan tidak realistis lagi, dan sebagainya.
Kritik juga ditujukan Bung Tomo kepada Pak Harto. ".... dekatnya `Cendana` dengan Liem Swie Liong telah menimbulkan hal-hal yang negatif yang membikin buyar harapan Orde Baru dan menggerogoti kewibawaan Presiden. Secara diam-diam, rakyat mulai tidak senang pada kepemimpinan kawan kami Soeharto, tetapi tidak berani."
"Pada waktu Prof Dr Soemitro Djojohadikusumo dipecat sebagai Menteri Perdagangan dan digeser menjadi Menteri Riset Nasional, ramailah orang berbicara bahwa tindakan terhadap Menteri Soemitro itu diambil karena ia tidak mau lagi tunduk pada perintah-perintah `Jalan Cendana` yang seolah-olah memaksa agar pengusaha-pengusaha Cina tertentu atau klik dari Cina-cina tersebut diberi fasilitas-fasilitas yang bertentangan dengan policy...."
Dalam suratnya kepada Presiden AS Eissenhower, Bung Tomo mempertanyakan sikap AS terhadap RMS, Hasan Tiro (GAM), dan negara-negara di kawasan Asia-Afrika yang dapat mendorong tumbuhnya perdamaian di dunia.
Namun, pemikiran dan tulisan kritis itu bukan tanpa resiko. "Kritik itu menjadikan Bung Tomo harus mendekam di penjara di Kramatjati, Jakarta Utara selama setahun (11 April 1978 - 11 April 1979)," kata Bambang Sulistomo dalam peluncuran buku itu di Tugu Pahlawan, Surabaya (28/2).
Bahkan, gelar pahlawan dari pemerintah juga sulit didapat Bung Tomo yang seolah-olah tidak mempunyai teman hingga akhir hayatnya di Makkah saat menunaikan ibadah haji pada tanggal 7 Oktober 1981, kemudian setahun berikutnya (1982) jenazahnya dibawa pulang ke Indonesia untuk dikebumikan di pemakaman umum Ngagel, Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar