JAKARTA, RABU - Bagi masyarakat Jakarta, mengunjungi Pekan Raya Jakarta (PRJ) setiap tahunnya pasti sudah menjadi agenda rutin. Sebuah perhelatan yang konon katanya adalah Pesta Rakyat. Masih cocokkah sebutan itu?
Dari tahun ke tahun, banyak perubahan signifikan yang kita rasakan. Perubahan baiknya, memasuki arena PRJ terasa lebih nyaman karena tata letak stand-stand yang mengadakan pameran lebih rapi. Tapi, mari kita perhatikan. Awal tahun 2000-an, kita masih menjumpai pedagang makanan tradisional tersebar di segala sudut arena PRJ. Sebut saja, penjual kue pancung, kerak telor dan jenis makanan rakyat lainnya. Tapi kini?
Bicara soal kerak telor, makanan khas Betawi ini memang tak bisa dilepaskan dari sebuah perayaan bernama PRJ. Sekarang, masih kan kita temui? Masih ada. Segelintir di dalam area PRJ, tapi puluhan lainnya hanya bisa berdagang di sepanjang jalan Angkasa, tepat di luar area PRJ. Selebihnya, stand-stand makanan cepat saji 'impor'.
Apa curahan hati para pedagang kerak telor yang merasa dianaktirikan dan merasa terpinggirkan? Adul (42), adalah satu dari puluhan pedagang yang merasa terpinggirkan. Menurut dia, mahalnya biaya sewa kios membuatnya harus mengurut dada untuk kelima kalinya. Maklum saja, terakhir kali Adul mampu mengikuti PRJ di dalam area pada tahun 2003.
"Setelah itu, dari tahun 2004 sampai sekarang, nggak pernah lagi. Lah, gimana lagi, sewa kiosnya sampe 20 juta. Mana saya mampu? Dulu sih, sewanya masih perorangan, nggak terlalu tinggi bayarannya. Paling tinggi 500 ribu perorang. Tahun 2004, di pinggir jalan terus," kisah Adul, saat dijumpai tengah berdagang di luar area PRJ.
Berjualan di luar, tepatnya di pinggir jalan pun, bukan berarti gratis. Kata Adul, beberapa di antara mereka masih saja ditarik biaya sebesar Rp210 ribu. "Tapi temen-temen yang nekat dengan modal sih, ada juga yang ikut di dalem. Patungan berapa orang, nanti jualannya giliran. Kalo saya mah, kagak. Mending uang buat nyewanya disimpen untuk sekolah anak. Rezeki kagak ke mana lah," kata dia lagi.
Praktis, pemasukan pun minim. Selain banyak saingan, lalu lintas kendaraan yang demikian cepat di sepanjang kawasan Kemayoran, menjadikan para pengguna jalan kadang enggan untuk menghentikan kendaraannya. "Bawa telor dua kilo aja kagak abis. Dibawa pulang sekitar 100 ribu. Kadang nombok, buat modal besoknya lagi," ujar Adul.
Harga jual kerak telor, dengan telur ayam Rp10 ribu, dengan telur bebek Rp12 ribu. Saat diberikan kesempatan menyampaikan uneg-uneg kepada Pemda DKI Jakarta, khususnya penyelenggara PRJ, Adul berkata panjang lebar, "Mau saya ye, boleh lah sewa di dalam perorangan. Tapi jangan terlalu tinggi. Paling nggak satu juta. Ada pilihan-pilihan, tergantung kemampuan pedagang. Kasih tempat yang rapi. Jangan kaya sekarang, sistem kios. Sewanya 15 sampe 20 juta. Rakyat kecil mana mampu? Kalo dulu, kerak telor dicari buat menuhin PRJ, buat ciri khas. Kenapa sekarang dipinggirkan? Kenapa anak sendiri ditaruh di luar, anak tiri di dalem. Yang banyak di dalem kan dari luar Jakarta, mbak. Jadinya bukan pesta rakyat, tapi pesta bisnis. Rakyat kecil kagak bisa nikmatin," ujarnya.
Selama perayaan PRJ, Adul mangkal di kawasan jalan Angkasa. Biasanya, ia berjualan di Pancoran, Glodok, Jakarta Barat. Meski penghasilan tak seberapa, Adul bersyukur, kadang masih ada yang memanggilnya untuk menyediakan kerak telor di pesta pernikahan. "Nitip promosiin ya mbak. Kalo mau manggil saya bisa telepon di 70742155, nanti pikulannya beda, udah dihias jadi lebih bagus, lebih pantes," pinta Adul, rakyat kecil yang merasa terpinggirkan dari sebuah pesta rakyat.
Sumber: Kompas.com
Dari tahun ke tahun, banyak perubahan signifikan yang kita rasakan. Perubahan baiknya, memasuki arena PRJ terasa lebih nyaman karena tata letak stand-stand yang mengadakan pameran lebih rapi. Tapi, mari kita perhatikan. Awal tahun 2000-an, kita masih menjumpai pedagang makanan tradisional tersebar di segala sudut arena PRJ. Sebut saja, penjual kue pancung, kerak telor dan jenis makanan rakyat lainnya. Tapi kini?
Bicara soal kerak telor, makanan khas Betawi ini memang tak bisa dilepaskan dari sebuah perayaan bernama PRJ. Sekarang, masih kan kita temui? Masih ada. Segelintir di dalam area PRJ, tapi puluhan lainnya hanya bisa berdagang di sepanjang jalan Angkasa, tepat di luar area PRJ. Selebihnya, stand-stand makanan cepat saji 'impor'.
Apa curahan hati para pedagang kerak telor yang merasa dianaktirikan dan merasa terpinggirkan? Adul (42), adalah satu dari puluhan pedagang yang merasa terpinggirkan. Menurut dia, mahalnya biaya sewa kios membuatnya harus mengurut dada untuk kelima kalinya. Maklum saja, terakhir kali Adul mampu mengikuti PRJ di dalam area pada tahun 2003.
"Setelah itu, dari tahun 2004 sampai sekarang, nggak pernah lagi. Lah, gimana lagi, sewa kiosnya sampe 20 juta. Mana saya mampu? Dulu sih, sewanya masih perorangan, nggak terlalu tinggi bayarannya. Paling tinggi 500 ribu perorang. Tahun 2004, di pinggir jalan terus," kisah Adul, saat dijumpai tengah berdagang di luar area PRJ.
Berjualan di luar, tepatnya di pinggir jalan pun, bukan berarti gratis. Kata Adul, beberapa di antara mereka masih saja ditarik biaya sebesar Rp210 ribu. "Tapi temen-temen yang nekat dengan modal sih, ada juga yang ikut di dalem. Patungan berapa orang, nanti jualannya giliran. Kalo saya mah, kagak. Mending uang buat nyewanya disimpen untuk sekolah anak. Rezeki kagak ke mana lah," kata dia lagi.
Praktis, pemasukan pun minim. Selain banyak saingan, lalu lintas kendaraan yang demikian cepat di sepanjang kawasan Kemayoran, menjadikan para pengguna jalan kadang enggan untuk menghentikan kendaraannya. "Bawa telor dua kilo aja kagak abis. Dibawa pulang sekitar 100 ribu. Kadang nombok, buat modal besoknya lagi," ujar Adul.
Para pedagang kerak telor berjualan di sepanjang jalan Angkasa, Kemayoran karena tak mampu bayar sewa kios di arena PRJ.
Harga jual kerak telor, dengan telur ayam Rp10 ribu, dengan telur bebek Rp12 ribu. Saat diberikan kesempatan menyampaikan uneg-uneg kepada Pemda DKI Jakarta, khususnya penyelenggara PRJ, Adul berkata panjang lebar, "Mau saya ye, boleh lah sewa di dalam perorangan. Tapi jangan terlalu tinggi. Paling nggak satu juta. Ada pilihan-pilihan, tergantung kemampuan pedagang. Kasih tempat yang rapi. Jangan kaya sekarang, sistem kios. Sewanya 15 sampe 20 juta. Rakyat kecil mana mampu? Kalo dulu, kerak telor dicari buat menuhin PRJ, buat ciri khas. Kenapa sekarang dipinggirkan? Kenapa anak sendiri ditaruh di luar, anak tiri di dalem. Yang banyak di dalem kan dari luar Jakarta, mbak. Jadinya bukan pesta rakyat, tapi pesta bisnis. Rakyat kecil kagak bisa nikmatin," ujarnya.
Selama perayaan PRJ, Adul mangkal di kawasan jalan Angkasa. Biasanya, ia berjualan di Pancoran, Glodok, Jakarta Barat. Meski penghasilan tak seberapa, Adul bersyukur, kadang masih ada yang memanggilnya untuk menyediakan kerak telor di pesta pernikahan. "Nitip promosiin ya mbak. Kalo mau manggil saya bisa telepon di 70742155, nanti pikulannya beda, udah dihias jadi lebih bagus, lebih pantes," pinta Adul, rakyat kecil yang merasa terpinggirkan dari sebuah pesta rakyat.
Sumber: Kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar