10 Th Lewat, Harap Ada Mukjizat
Jakarta - Pagi-pagi gedung bundar Kejagung sudah kedatangan tamu penting. Ia adalah Menneg Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta. Meutia disertai sejumlah stafnya ke gedung bundar untuk menemui Jaksa Agung Hendarman Supandji.
Meutia memiliki agenda penting, minta Kejagung mengungkap perkosaan Mei 1998. Hal yang tidak gampang. Terlebih kasus ini sudah 10 tahun mengendap. Maka Meutia datang tidak dengan tangan kosong. Ia membawa segepok dokumen terkait kejahatan seksual dalam peristiwa Mei yang kemudian diserahkan kepada Hendarman.
Dokumen yang dibawa Meutia berupa 85 kasus kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta pada kerusuhan Mei 1998. Berkas itu merupakan hasil temuan dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998 yang telah diverifikasi oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Kasus kekerasan seksual tersebut terdiri dari 52 kasus pemerkosaan, 14 kasus pemerkosaan dengan penganiayaan seksual, 10 kasus penganiayaan seksual, dan 9 kasus pelecehan seksual.
Fakta-fakta yang ditemukan TGPF menyebutkan, tindak kekerasan seksual dilakukan oleh lebih dua orang pelaku. Tindakan tersebut terjadi pada 13-15 Mei di Jakarta.
Tapi, dari semua korban yang berhasil dimintai keterangan, kini sebagian besar sudah mengungsi ke luar negeri. Beberapa korban mengungsi ke luar pulau, dan ada juga yang sudah meninggal dunia.
Menurut Meutia, fakta-fakta dalam dokumen itu diambil dari sudut pendekatan empirik yang berasal dari pernyataan korban langsung, dan berdasarkan keterangan IDI, saksi, psikiater/psikolog dan rohaniwan pendamping.
Dengan kata lain, kedatangan Meutia ke Kejagung untuk menegaskan kalau kasus kekerasan seksual itu bukan rumor semata. Meutia berharap kedatangannya ke Kejagung membuat institusi bisa lebih serius dalam menangani kasus perkosaan Mei.
"Laporan ini merupakan penegasan bahwa kekerasan seksual pada Mei 2008 ada. Hal ini seharusnya ditangani serius oleh pemerintah," tegas Meuthia.
Sejak sepuluh tahun lalu kasus kekerasan seksual Mei memang terus menjadi tanda tanya. Sekalipun TGPF telah bekerja sejak pemerintahan Presiden BJ Habibie dan Abdurahman Wahid (Gus Dur), tetap saja hasil temuannya tidak pernah mampir di ruang pengadilan. Berkas itu hanya mengendap di Kejagung. Bahkan dokumen asli temuan TGPF raib di Departemen Hukum dan HAM.
Hilangnya berkas kasus pelanggaran HAM Mei 1998 sangat dipertanyakan. Pasalnya berkas hasil temuan TGPF, yang kabarnya kalau ditumpuk bisa menutupi satu ruangan berukuran 4x3 meter persegi, bisa raib begitu saja.
"Sebagian dokumen masih ada di Komnas. Tapi untuk kasus perkosaan hilang. Begitupun berita acara pemeriksaan (BAP) dari sejumlah petinggi militer maupun kepolisian," jelas Ester Indahyani Yusuf, relawan Solidaritas Nusa Bangsa (SNB). Ditambahkan Ester, dokumen-dokumen yang ada sekarang hanya berupa fotokopian sehingga sulit untuk diajukan ke pengadilan.
Jakarta - Pagi-pagi gedung bundar Kejagung sudah kedatangan tamu penting. Ia adalah Menneg Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta. Meutia disertai sejumlah stafnya ke gedung bundar untuk menemui Jaksa Agung Hendarman Supandji.
Meutia memiliki agenda penting, minta Kejagung mengungkap perkosaan Mei 1998. Hal yang tidak gampang. Terlebih kasus ini sudah 10 tahun mengendap. Maka Meutia datang tidak dengan tangan kosong. Ia membawa segepok dokumen terkait kejahatan seksual dalam peristiwa Mei yang kemudian diserahkan kepada Hendarman.
Dokumen yang dibawa Meutia berupa 85 kasus kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta pada kerusuhan Mei 1998. Berkas itu merupakan hasil temuan dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998 yang telah diverifikasi oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Kasus kekerasan seksual tersebut terdiri dari 52 kasus pemerkosaan, 14 kasus pemerkosaan dengan penganiayaan seksual, 10 kasus penganiayaan seksual, dan 9 kasus pelecehan seksual.
Fakta-fakta yang ditemukan TGPF menyebutkan, tindak kekerasan seksual dilakukan oleh lebih dua orang pelaku. Tindakan tersebut terjadi pada 13-15 Mei di Jakarta.
Tapi, dari semua korban yang berhasil dimintai keterangan, kini sebagian besar sudah mengungsi ke luar negeri. Beberapa korban mengungsi ke luar pulau, dan ada juga yang sudah meninggal dunia.
Menurut Meutia, fakta-fakta dalam dokumen itu diambil dari sudut pendekatan empirik yang berasal dari pernyataan korban langsung, dan berdasarkan keterangan IDI, saksi, psikiater/psikolog dan rohaniwan pendamping.
Dengan kata lain, kedatangan Meutia ke Kejagung untuk menegaskan kalau kasus kekerasan seksual itu bukan rumor semata. Meutia berharap kedatangannya ke Kejagung membuat institusi bisa lebih serius dalam menangani kasus perkosaan Mei.
"Laporan ini merupakan penegasan bahwa kekerasan seksual pada Mei 2008 ada. Hal ini seharusnya ditangani serius oleh pemerintah," tegas Meuthia.
Sejak sepuluh tahun lalu kasus kekerasan seksual Mei memang terus menjadi tanda tanya. Sekalipun TGPF telah bekerja sejak pemerintahan Presiden BJ Habibie dan Abdurahman Wahid (Gus Dur), tetap saja hasil temuannya tidak pernah mampir di ruang pengadilan. Berkas itu hanya mengendap di Kejagung. Bahkan dokumen asli temuan TGPF raib di Departemen Hukum dan HAM.
Hilangnya berkas kasus pelanggaran HAM Mei 1998 sangat dipertanyakan. Pasalnya berkas hasil temuan TGPF, yang kabarnya kalau ditumpuk bisa menutupi satu ruangan berukuran 4x3 meter persegi, bisa raib begitu saja.
"Sebagian dokumen masih ada di Komnas. Tapi untuk kasus perkosaan hilang. Begitupun berita acara pemeriksaan (BAP) dari sejumlah petinggi militer maupun kepolisian," jelas Ester Indahyani Yusuf, relawan Solidaritas Nusa Bangsa (SNB). Ditambahkan Ester, dokumen-dokumen yang ada sekarang hanya berupa fotokopian sehingga sulit untuk diajukan ke pengadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar