Memanasnya suhu politik global akibat friksi antara Amerika Serikat (AS) dan sekutu melawan Iran beserta koalisinya, sekurang-kurangnya telah memunculkan prakiraan berbagai pihak tentang keniscayaan meletusnya Perang Dunia di abad XXI ini.
Adalah Prof Michel Chossudovsky, pendiri sekaligus Direktur Central for Research on Globalization (CRG) di Kanada dan Finian Cunningham, salah satu peneliti CRG telah mengingatkan: “ .. jika kelak perang nuklir diluncurkan, seluruh Timur Tengah/Asia Tengah akan masuk ke dalam suatu kebakaran besar!” ( The Globalizaton of War: The “Military Roadmap” to World War III, www.globalresearch.ca). Dalam artikel di atas setidaknya mulai diungkap, bahwa potensi PD III telah disebut-disebut sebagaimana tulisan Cossudovsky.
Selanjutnya Wakil Sekretaris Jenderal Hizbullah, Sheikh Naim Qassem memperingatkan serangan militer ke Iran akan membakar seluruh Timur Tengah. AS mengetahui bahwa perang terhadap Iran akan membakar seluruh kawasan tanpa mengenal batas (Reuters, 29/02 /2012). "Israel bisa memulai perang, tetapi tidak tahu skala konsekuensi dan tidak mampu mengendalikan perang tersebut", katanya.
Tak ketinggalan Raja Yordania, Abdullah II juga memperingatkan Israel dan Barat terhadap konsekuensi agresi militer atas Iran. "Setiap tindakan militer terhadap Iran akan memperburuk ketidakstabilan di Timur Tengah, dan berakibat sangat negatif bagi AS, Eropa, dan Israel”, katanya kepada majalah Turkish Policy Quarterly (GFI, 05/03/2012).
Dan tampaknya, isue nuklir menjadi TEMA POKOK dari propaganda yang digencarkan oleh AS dan Barat ---seperti biasa--- dalam rangka pembenaran setiap “tindakan” setelah tema-tema kolonialisme sebelumnya seperti korupsi, pemimpin tirani, tidak demokratis dan lainnya melalui Arab Spring memetik sukses di Tunisia, Mesir dan Yaman tetapi ternyata tidak berhasil menggoyang Syria dan Iran. Gagal di kedua negara melalui gerakan massa non kekerasan (smart power), terlihat polanya ditingkatkan tema pun berubah. Syria merupakan contoh atas peningkatan pola Barat dari gerakan massa menjadi “perang sipil” alias pemberontakan bersenjata. Istilahnya hard power dalam skala terbatas. Dan program nuklir (sipil) Iran pun menjadi sasaran dari pergantian tema kolonialisme. Ya, nuklir Iran kini dihebohkan sebagai ancaman bagi perdamaian dunia!
Menarik sekali tatkala analis politik AS sekaliber Noam Chomsky malah bertolak-belakang dengan arus politik negaranya. Ia menyatakan bahwa dunia tidak menerima penggambaran AS terhadap Iran sebagai ancaman bagi perdamaian global. Menurutnya, dunia justru memandang Washington dan Tel Aviv sebagai kejahatan yang lebih besar. Mayoritas warga AS mengakui hak Iran untuk program energi nuklirnya, sebelum media massa dan Washington meluncurkan propaganda besar-besaran kepada Republik Islam selama dua tahun terakhir. "Negara-negara kuat saat ini seperti Rusia, Cina, India, dan 120 negara anggota Gerakan Non-Blok juga menentang kebijakan AS terhadap Iran," kata Chomsky (GFI, 05/02/2012).
Bahkan Presiden Rusia yang baru terpilih Vladimir Putin Selasa (06/03) mengakui hak Iran untuk memiliki program nuklir nasional. Dalam wawancara video dengan harian bisnis Jerman Handelsblatt, Putin mengatakan bahwa Iran memiliki hak untuk melanjutkan program nuklirnya di bawah pengawasan Badan Energi Atom Internasional yang bermarkas di Wina, lapor IRNA.
Agaknya AS dan sekutu tidak peduli. Ia jalan terus mengikuti Desain Militer Global dalam “Penaklukan Dunia” yang mulai dari Irak, Suriah, Lebanon, Libya, Iran, Somalia dan Sudan, yang telah terpampang di Pentagon semenjak tahun 1990-an (Michel Cossudovsky, Agustus 2010, www.globalresearch.ca). Apa boleh buat. Layar telah dikembangkan, program sudah dijalankan dan waktu pun tidak bisa diputar ulang!
Sekilas Urgensi Kawasan dan Pindahnya Lokasi PD
Dalam buku The Geopolitics of Superpower (1973) karya Colin S. Gray, seorang Alford Machinder (abad ke 19) sudah memberi isyarat bahwa Asia Tengah dan Timur Tengah merupakan Kawasan Heartland atau World Island. Maknanya siapa menguasai Heartland yang memiliki kandungan sumberdaya alam dan aneka mineral, maka akan menuju “Global Imperium”. Itulah sekilas latar urgensi kawasan tersebut bagi dinamika politik dan kancah hegemoni global. Pantaslah jika sering terjadi konflik baik sifatnya intra maupun interstate berputar-putar di sekitar “kawasan basah” tersebut. The power of oil.
Tatkala berkembang isue perpindahan lokasi PD dari Selat Hormuz ke Laut Cina Selatan, ini sempat mengundang pro-kontra banyak kalangan bahkan para pakar itu sendiri, mengingat penilaian secara fisik baik persiapan maupun penyiapan infrastruktur perang oleh masing-masing pihak yang berseteru di sekitar Heartland telah mencerminkan level: siap perang!
Namun fakta memperlihatkan, Admiral Robert F. Willard, Komandan Angkatan Laut AS di kawasan Samudera Pasifik mengeluarkan pernyataan dan menekankan komitmen akan kehadiran militer AS di Laut Cina, sedang pada sisi sisi para politikus Cina menyatakan kawasan ini sebagai GARIS MERAH kebijakan Cina dan Beijing yang tidak dapat menerima kehadiran pasukan asing, bahkan pasukan negara-negara tetangga di kawasan ini.
Berbeda dengan Cina, tampaknya para pejabat AS tetap menggelar latihan militer bersama dengan negara-negara kawasan, bahkan akan membantu perusahaan-perusahaan Philipina dan Vietnam dalam proses eksplorasi dan eksploitasi minyak di laut ini (GFI, 02-03-2012). Beberapa sumber menyatakan ---setidaknya menurut Dirgo D. Purbo, pakar perminyakan Indonesia--- bahwa Laut Cina Selatan selain merupakan New Road Silk melalui perairan, juga kawasan ini memiliki kandungan sumberdaya alam dan kaya akan mineral.
Aksi AS jelas mengobarkan kemarahan Cina. Inilah kemungkinan sebagai salah satu pemicu bergesernya proxy war (lapangan tempur) dari dugaan sebelumnya di Hormuz. Dan Cina pun siap-siap serta berencana menaikkan budget militernya sebesar 11,2% di tahun 2012 ini (GFI, 06-03-2012). Kenaikan anggaran ini disinyalir menjawab “keberanian” negara-negara di sekelilingnya terkait klaim wilayah dan sengketa kepulauan, sekaligus sebagai tanggapan atas keputusan AS yang mengumumkan kawasan Asia-Pasifik sebagai poros strategis.
Teori Pembedah
“Matikan Timur Tengah, anda mematikan Cina dan Rusia, maka anda akan menguasai dunia” (Tony Cartalucci). Menafsirkan asumsi peneliti dari CRG, Kanada tersebut intinya: barang siapa ingin menguasai dunia maka langkah pertama harus menguasai dahulu Timur Tengah, automaticly mengakibatkan “mati”-nya Cina dan Rusia (langkah kedua), serta hasilnya adalah “menguasai dunia”. Itulah benang merah. Seberapa besar ketergantungan Cina dan Rusia terhadap Timur Tengah sampai harus “mati” apabila Timur Tengah dikuasi orang lain ---seperti tersirat dalam teori tadi--- tak dijelaskan oleh Cartaluci dan tidak pula dibahas dalam catatan ini.
Dengan demikian, isue bergesernya PD III dari Hormuz ke Laut Cina Selatan, sejatinya masih dalam koridor asumsi tadi. Sederhana saja, apabila kelak berpindah lokasi dari Hormuz menuju Laut Cina Selatan maka boleh diterka, bahwa AS dan sekutu tengah menerapkan langkah kedua (mematikan Cina dan Rusia) secara langsung, tanpa harus melewati langkah pertama (matikan Timur Tengah) dahulu. Logika Cartalucci, dengan “mematikan” Cina dan Rusia justru akan melancarkan roadmap militernya yang selama ini terkendala oleh kedua adidaya (Cina dan Rusia) baik di lapangan, forum diplomasi dan terutama veto di Majelis PBB. Namun apakah memang harus demikian?
Untung dan Rugi
Secara cermat bisa diurai untung-ruginya. Jika PD III meletus di Laut Cina Selatan antara AS dan sekutu versus Cina dan Jepang misalnya, kemungkinan besar Rusia cenderung "netral dan menunggu". Tak banyak hal signifikan bagi Beruang Merah di Laut Cina. Di satu sisi, sikap ini menguntungkan AS dan sekutu. Artinya pertempuran di Laut Cina selain bakal melibatkan belasan negara Common Wealth dan Korea Selatan sebagai bemper (proxy), sekaligus AS dapat menerapkan modus barunya dalam perang kolonial yakni “utang dibayar bom” (baca: Perampok Internasional dan Utang Dibayar Bom di www.theglobal-review.com). Dalam perspektif militer, meskipun secara kuantitas personel dan kualitas peralatan militernya cukup besar setelah Rusia, semenjak pasca PD II Cina dianggap kurang berpengalaman dalam perang modern terutama di perairan.
Berdasarkan kutipan data CNBC, Kamis (2/2/2012), total utang AS sekarang mencapai 15 triliun USD dan dipastikan terus meningkat. Kendati sebagian besar utangnya dipegang oleh swasta dan entitas publik, bahwa ada dua “negara asing” yang juga menguasai yakni Cina dan Jepang. Ya. Cina menguasai surat utang sebesar 1,107 triliun USD, meskipun September 2011 turun dibandingkan per Juli 2011 sebesar 1,173 triliun USD. Sedangkan Jepang selain merupakan partner dagang terbesar, menguasai juga surat utang AS hingga mencapai 1,038 triliun USD (Detik.com, 02/02/2012, 08:35:56, Ini Dia Pemberi Utang Terbesar AS).
Melihat data-data di atas, menjadi wajar jika AS ingin mengulang lagi modus “utang dibayar bom” kepada Cina dan Jepang seperti yang ia lakukan terhadap Libya dulu, disamping awal 2012-an lalu kedua negara berani memprakarsai gerakan menolak dolar AS di setiap transaksi perdagangan, kemudian gerakan itu diikuti oleh Rusia, Iran dan lainnya. Inilah yang dicemaskan AS. Sikap dan gerakan “menolak dolar” dapat menimbulkan snawball process di berbagai belahan dunia. Dolar bisa pulang ke negeri asalnya menjadi tumpukan kertas-kertas tak berharga. Itulah “tsunami dolar” yang ditakuti para elit AS!
Bagi AS sendiri, meletuskan PD di Laut Cina Selatan bukannya tanpa pertimbangan jitu, keuntungan pokok adalah tidak berhadap-hadapan secara langsung dengan Cina dan Rusia sekaligus. Itu yang utama, mengingat kekuatan militer kedua adidaya baru tadi dalam segala hal hampir menyamainya. Ia bisa lebur menjadi abu. Namun pada sisi lain, kondisi seperti ini justru diharapkan oleh Rusia. Kenapa? Tersirat sebuah peluang. Ibarat menembak di atas kuda, sangat mustahil bila usai peperangan terdapat "dua matahari" berdampingan. Maka di tengah-tengah “kelelahan” para negara yang terlibat perang, Rusia pun bakal (menelikung) sendirian melenggang ke puncak kekuasaan --- mengganti AS mengatur dunia, menjadi superpower baru. Cerdasnya Beruang Merah membaca momentum kedepan. Tak ada kawan dan lawan abadi yang ada hanya kepentingan!
Ini berbeda jika PD meledak di Selat Hormuz, atau di Syria, atau di Iran (masih kawasan Heartland). Rusia justru akan lebih agresif melindungi koalisinya, selain mengamankan kepentingan nasionalnya di Iran, faktor geopolitic pipeline yang dimiliki Syria, juga posisi negeri (geostrategic possition) Bashar al Assad ini merupakan "titik simpul" dari Road Silk (Jalur Sutra), route melegenda sejak abad III yang terbentang mulai perbatasan Cina/Rusia hingga ke Maroko (Afrika Utara) dan merupakan jalur ekonomi dan perdagangan sekaligus jalur militer yang membedah antara Dunia Barat dan Dunia Timur. Inilah skema keramat para adidaya dunia yang mulai terkuak!
Meletusnya PD di Kawasan Heartland justru membuat Rusia dan Cina “bersenyawa” ---meminjam istilah Hendrajit--- sebab muncul common enemy. Pengalaman keduanya atas pemutusan konsesi minyak dengan Irak secara sepihak oleh Bush Jr ketika AS dan sekutu berhasil melumpuhkan Saddam Husein (2003) dulu, membuat Rusia dan Cina harus mengambil sikap jauh-jauh hari.
Sedangkan ancaman lain selain “kebakaran besar” sebagaimana sinyal Cossudovsky dan Sheikh Qassem di atas, adalah lebih daripada itu yakni timbul berbagai efek peristiwa seperti bencana sosial, pangan, ekonomi, kesehatan, kemanusiaan dan lainnya yang dahsyat akibat perang nuklir. Maka elit AS kini tinggal menghitung hari: meletuskan PD di Selat Hormuz atau Laut Cina Selatan, apabila perang dianggap satu-satunya jalan guna memulihan sistem ekonominya yang bangkrut.
Momentum Indonesia
Bagi Indonesia, momentum emas sebagaimana PD II dahulu niscaya terulang kembali dalam PD III nanti. Belajar dari sejarah kemerdekaan tempo doeloe, pendiri-pendiri bangsa ini memanfaatkan Vacum of power bangsa imperialis saat Jepang kalah perang melawan sekutu di Asia Pasifik. Pada PD II, Indonesia mampu merebut jembatan emas KEMERDEKAAN yang diplokamirkan tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta. Diharapkan dalam PD III nanti, Indonesia mengulang sukses sebagaimana kiprah para bapak pendiri republik tercinta ini.
Diyakini terdapat vacum of power ketika semua perhatian negara terfokus pada jalannya peperangan. Entah meletus di Hormus atau Laut Cina Selatan, maka Indonesia mutlak harus merebut KEMERDEKAAN II. Ya. Indonesia harus kembali menjadi bangsa merdeka, bersatu dan berdaulat yang sesungguhnya, keluar dari cengkraman imperialis modern bermodus "VOC Gaya Baru" dengan berbagai format dan kemasan yang kini tengah menjarah berbagai sumberdaya (politik, ekonomi, sosial, manusia, alam dsb) di bumi pertiwi, namun tidak disadari oleh mayoritas rakyat itu sendiri.
Kejayaan Indonesia terulang setiap tujuh abad, begitulah ramalan leluhur bergaung hingga kini. Abad VII Zaman Sriwijaya disebut Nusantara I. Abad XIV Era Majapahit dinamai Nusantara II dan kini telah memasuki lorong abad XXI --- putaran ketiga dari siklus alam sesuai “mandat” semesta. Selamat datang di Pelataran Nusantara III: Indonesia Jaya!
Tetapi entah iya entah tidak, entah benar atau cuma mitos belaka, hukum sebuah ramalan adalah sunah, boleh percaya tidak pun syah-syah saja. Namun pada satu sisi, hendaknya para tokoh, pakar dan kaum cinta negeri, tidak perlu larut oleh “mimpi indah” sebuah ramalan, lalu di sisi lain ---setidaknya dari kini--- segenap tumpah darah dan komponen bangsa mulai bergandeng tangan, merapatkan barisan, menyatukan titik-titik perbedaan, menghentikan ego-ego sektoral dan semangat kedaerahan sempit, merumuskan langkah bersama yang akan ditempuh tatkala momentum emas itu tiba. Tangkap peluang! Musuh ada di luar sana kendati “skema”-nya telah tertancap pada Ibu Pertiwi. Jangan buang-buang waktu percuma karena hari telah beranjak senja. Bongkar skema, cabut skema!
Bangkit dan bersatulah bangsaku!
Penulis : M Arief Pranoto, Peneliti Senior Global Future Institute (GFI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar