Oleh: Rhenald Kasali di harian Seputar Indonesia
Menurut PBB, tahun ini adalah tahun koperasi. Bangsa-bangsa besar,tak ketinggalan Thailand dan Malaysia, berlomba-lomba menunjukkan kepada dunia, mereka pun memiliki koperasi kelas dunia.Bagaimana Indonesia?
Bukankah kita lagi asyik dengan UMKM nonkoperasi? Untuk menjadi pegangan para pelaku koperasi, International Cooperative Alliance (ICA) mengeluarkan peta yang berisi daftar 300 koperasi kelas dunia. Di dalam daftar itu terdapat koperasi-koperasi besar seperti Credit Agricole Group (Prancis), Zen Noh (Jepang), Rabo Bank (Belanda), California Dairies (Amerika Serikat/ AS), IFFO (India), Fair Price (Singapura), dan Bank Rakyat (Malaysia). Semula saya berharap akan ada beberapa koperasi Indonesia yang masuk dalam daftar itu,tetapi saya harus kecewa menerima kenyataan tidak ada.
Padahal, kurang apa ya negeri ini? Penduduk prasejahtera masih banyak, kementerian yang menangani khusus koperasi juga ada,APBN-nya pun disediakan. Tidak ada badan hukum usaha lain yang diajarkan di sekolah sejak SD selain koperasi.Koperasi juga dijadikan praktik di sekolah-sekolah. Indonesia juga tidak kurang mengenal tokoh-tokoh koperasi, termasuk pendiri negeri ini Bung Hatta. Sementara di Inggris, Belanda, dan AS yang sangat kapitalis, koperasi justru berjaya.Ada apa gerangan?
Ideal dan Komersial
Di Harvard, bila Anda sempat, mampirlah ke toko buku dan suvenir kampus. Anda akan menemukan sebuah toko besar yang dikelola secara profesional. Mahasiswa dan pengunjung menyebutnya COOP yang artinya koperasi.Adalah hal yang biasa bila orang menyebut coop-number yang berarti nomor keanggotaan dalam koperasi. Mereka adalah pemegang saham sekaligus pelanggan, mengeluarkan uang dan mendapat dividen.
Di Inggris,gerakan koperasi juga tak kalah hebatnya.Adalah biasa orang menyebut vivid number yang berarti nomor keanggotaan koperasi. Salah satu kelompok usaha berbasis koperasi yang besar adalah The Co-Operative Group yang bergerak dalam spektrum usaha yang sangat luas dengan 3 juta anggota dan 4.500 gerai. Mereka bergerak dalam bidang ritel, makanan, asuransi, perbankan, travel, farmasi, jasa pemakaman, jasa hukum, investasi, toko online, listrik, dan hotel. Di Indonesia kita mengenal Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) yang masih memiliki gedung bertingkat di jalan bergengsi di Jakarta, tetapi kiprahnya sudah lama tak terdengar.
Demikian pula Puskowan Jati yang sangat populer di Jawa Timur, Koperasi Unit Desa Setia Kawan di Nangkojajar, koperasi-koperasi susu, Inkopad, Inkopal dan Inkopol serta Inkopau. Tapi semakin hari koperasi di sini mulai jarang disebut.Apalagi, dukungan pemerintah pada sektor pertanian menyusut, lahanlahan pertanian menyempit, dan usaha yang sarat subsidi (seperti pupuk) berpindah ke tangan para makelar dan orang-orang partai politik. Mudah-mudahan saya salah dan saya berharap koperasikoperasi kita gegap gempita seperti di era Orde Baru.
Namun,di sisi lain,saya mendengar ada secercah harapan, yaitu berkembangnya koperasikoperasi simpan pinjam (KSP) yang banyak menggarap sektor microfinance. KSP-KSP ini bisnisnya berkembang karena dikelola secara profesional dengan manajemen mirip perbankan. Hanya saja tak semua sektor microfinancedikuasai koperasi. KSP harus bekerja lebih keras lagi karena mereka harus berhadapan dengan bank-bank besar, bank-bank asing, lembaga- lembaga keuangan mikro, BPR,dan tentu saja KSP asing dari Bangladesh, India, dan Eropa.
Refleksi Kelas Dunia
ICA menyebutkan di seluruh dunia, usaha koperasi menyangkut kepentingan lebih dari 1 miliar penduduk dunia yang terlibat baik sebagai anggota, konsumen maupun pengurus dan pegawai. Dari global 300 koperasi dunia saja, penghasilan yang diciptakan telah mencapai USD1,6 triliun,yang berarti setara dengan produk domestik bruto (PDB) salah satu negara nomor 9 terbesar di dunia. Ke-300 koperasi kelas dunia itu ada di 25 negara dengan penghasilan terbesar,yaitu ada di Prancis (28%), AS (16%), Jerman (14%), Jepang (8%), Belanda (7%), Inggris (4%), Swiss(3,5%), Italia (2,5%) Finlandia (2,6%),Korea (2%) dan Kanada (1,75%).
Kalau di negara-negara kapitalisme itu saja koperasi bisa menjadi besar, mengapa di Indonesia tidak? Apakah mungkin karena koperasi telah salah dibina birokrat-birokrat yang tak paham bisnis sehingga terlalu kental aturan dan masalah ideal saja? Atau jangan-jangan cara pengelolaannya yang masih–– maaf–– primitif, berpikir kecil,merasa miskin dan kurang berani merekrut kaum profesional? Atau bisa juga bidangbidang usaha yang ditekuni sangat terbatas pada bidangbidang usaha bernilai tambah rendah sehingga masih bermimpi mengandalkan tangan pemerintah? Semua mungkin saja.
Tapi marilah kita berefleksi dengan melihat apa yang dilakukan oleh koperasi-koperasi kelas dunia. Pada dasarnya, kata kelas dunia itu sendiri adalah kata yang rancu dan sangat mudah dipakai sekadar untuk “kerenkerenan” saja. Padahal, kata kelas dunia mencerminkan sesuatu yang “besar”. Kata “besar” itu sendiri bisa berwujud luas,mulai dari aset,pasar,pendapatan, jumlah pegawai hingga jangkauan usaha dan seterusnya. Namun belakangan saya melihat kecenderungan kata “besar” dalam status kelas dunia mulai ditinggalkan karena banyak usaha-usaha yang besar menimbulkan masalah.
“Besar” dari ukuran-ukuran tadi ternyata identik dengan kerakusan, skandal, arogansi, tidak bersahabat (dengan pelanggan dan society), dan bahkan “besar” identik dengan kesejahteraan semu (illusionary wealth). Setiap kali terjadi krisis, lembaga-lembaga usaha yang “besar” selalu menjadi beban bagi suatu bangsa karena tidak fleksibel, terlalu hierarkis, terlalu I-Centric,banyak utang,terlibat masalah-masalah etika dan salah urus.Padahal “besar” juga berarti magnet, yang menarik orang-orang terbaik, lulusan universitas-universitas terkemuka dan seterusnya.
Oleh karena itulah pengertian kelas dunia mulai bergeser. Ia bukanlah urusan besar dan peringkat prestasi keuangan melulu.Para ahli melihat, kata “respect”,“admire” (dihormati, dikagumi) menjadi lebih bermakna dan lebih diterima.Jadi, ukurannya bukan lagi sekadar value (nilai, angka), melainkan juga values (bernilai, bermakna, kearifan). Value adalah sasaran dari kapitalisme, sedangkan gabungan value dan values adalah miliknya koperasi. Koperasi kelas desa biasanya terpukau dengan “values” belaka sehingga jalan di tempat, sedangkan koperasi kelas dunia menyeimbangkan keduanya.
Bahkan dengan bekal values–nya itu, mereka berjuang keras menjadi role model dalam industri masing-masing seperti menjalani prinsip-prinsip crackership dalam konsep Cracking Zone. Saya masih punya rekaman kuat saat tinggal beberapa minggu di sebuah desa di kaki Gunung Bromo lebih dari 20 tahun lalu. Di sana saya berdialog dengan para peternak susu dan pengurus Koperasi Susu Setia Kawan.Sebuah desa yang hidup, ceria, dan penduduknya sejahtera karena koperasi.
Pengurus-pengurus koperasi aktif mencari formula- formula baru dalam berbagai hal.Mereka mencari cara agar sapi-sapi mereka sehat dan produktif, mengembangkan teknologi, pakan ternak, dan alat transportasi susu yang terbebas dari kerusakan kualitas dan seterusnya. Tapi di sisi lain,mereka juga aktif membangun masyarakat, merekatkan nilai-nilai, mengubah perilaku-perilaku buruk warisan Ken Arok dan Kebo Ijo (dalam sejarah Singosari), membuat para peternak nakal lebih jujur dan tak mencampur susu dengan air atau santan, menciptakan kegembiraan di antara penduduk saat menyetor susu, serta membentuk cara-cara pengelolaan uang yang sehat.
Rakyatnya sehat dan sejahtera, koperasi juga sehat dan sejahtera.Tapi untuk menjadi role model, tuntutannya tentu lebih besar lagi.Koperasi tak boleh berpuas diri menjadi pemain- pemain kelas desa,sebab seperti KSP-KSP, mereka juga berhadapan dengan sistem ekonomi liberal yang memaksa mereka unggul dalam bersaing. Koperasi harus kompetitif dan dikelola dengan mengikuti zamannya.
Koperasi harus menjadi matahari dengan magnet yang kuat untuk menarik the best talent, the best produk,dan the best system . Selamat merayakan Tahun Internasional Koperasi dan jadilah warga dunia berkelas yang dihormati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar