Perselingkuhan menjadi masalah pelik yang mewarnai hubungan pria dan wanita. Lebih pelik lagi, perselingkuhan dilakukan bersama sesama jenis.
Sepanjang 2010, beberapa pasangan terkenal mendominasi pemberitaan media massa dengan kabar perselingkuhan pasangannya. Sandra Bullock diselingkuhi suaminya, Eva Longoria pun mengalami nasib serupa, Charlie Sheen terjebak di sebuah kamar hotel dengan seorang pelacur, juga Tiger Woods yang ketahuan memiliki banyak partner seksual, bahkan harus menjalani rehabilitasi karena kecanduan seks, dan sederet berita perselingkuhan lainnya.
Menilik isu hubungan di masyarakat kita, psikolog Ratih Andjayani Ibrahim melihat bahwa perselingkuhan tidak lagi dilakukan pada lawan jenis, tapi sesama jenis.
“Tidak lagi heteroseksual. Perbandingannya, kalau dulu ngelihat satu di antara sepuluh orang aja susah, sekarang bisa lebih dari 3 orang, banyak,“
Dipaparkan Ratih, banyak faktor mendorong seseorang berperilaku yang dianggap masyarakat sebagai perbuatan menyimpang ini.
1. Jatuh cinta. Setiap orang bisa jatuh cinta kapan saja. Jatuh cinta bukan rasa yang disengaja ada. Terjadi, walaupun dikatakan jatuh cinta di waktu yang kurang tepat (sudah menikah).
“Peselingkuh tidak tahu bagaimana mengekspresikan perasaan dan perilakunya. Soal perilakunya sampai di ranjang atau tidak, kita enggak tahu,“
2. Nature or bussiness. Tujuannya untuk melancarkan usaha, kebutuhan finansial, dan status sosial.
3. Tidak mau anomali. “Kalau enggak selingkuh, ntar dia jadi anomali, enggak ngikutin tren. Kalau semua selingkuh, masak saya enggak. Ada social pressure yang diterima orang ini,“.
4. Aktualisasi diri. Peselingkuh memandang eksistensi dirinya tetap terjaga jika bisa menunjukkan kekuatan dan kebanggaannya lewat wanita atau pria selingkuhan.
“Kalau enggak selingkuh, saya enggak ada. Makin banyak selingkuhan, makin eksis. Untuk kebanggaan, karena selingkuhan bisa dipamerin,”
5. Hobi atau iseng-iseng.
6. Libido besar. Pemilik libido besar ini tak bisa mengendalikan libidonya hingga akhirnya disalurkan lewat jalan yang salah.
“Faktor lainnya bisa sangat banyak seperti faktor trauma tertentu, misal sakit hati, entah dia sendiri yang mengalami atau orang lain. Dia enggak punya kendali atas rasa itu,”
Kini, pria bukan lagi satu-satunya pihak yang dituduh lebih banyak selingkuh, karena wanita juga punya angka seimbang. Rupanya, multigender menyentuh kasus perselingkuhan.
“Selingkuh berlaku untuk laki-laki dan perempuan. Almost 50 :50, bukan lagi dikatakan perempuan lebih sedikit selingkuh dibanding laki-laki. Soalnya, banyak perempuan yang mau jadi selingkuhan. Dan, sekali lagi, enggak selalu sama gendernya,”
Ratih menegaskan, teknologi (jejaring pertemanan) turut membuka kesempatan perselingkuhan menjadi lebih lebar. Namun, bukan berarti selingkuh online lebih banyak kasusnya dibanding bentuk selingkuh lainnya.
“Semua bentuk perselingkuhan bisa membahayakan pernikahan, apakah itu selingkuh online, fisik, ataupun emosional,”
“Kalau ngomong masalah cinta, relasi pria dan wanita, manusia kan bukan 1 + 1 = 2. manusia itu dinamis dan relatif,”
Siapa lebih bisa memaafkan?
Soal siapa yang lebih bisa memaafkan saat diselingkuhi, Alexandra Dewi, penulis buku It’s Complicated; Teman Sharing Ketika Hubungan Menjadi Rumit punya jawaban tersendiri.
“Sebagian besar pria lebih tidak bisa memaafkan. Memang, pria punya fisik yang lebih strong, tapi soal mental, wanita lebih strong. Wanita mungkin shock, histeris, tapi dalam hati lebih bisa memaafkan,”
Menurutnya, pria cenderung lebih sakit hati saat pasangannya selingkuh hingga ke ranjang.
“Pria, lebih sakit hati selingkuh saat pasangannya selingkuh seks. Mereka berpandangan, wanita kalau mau berhubungan seks dengan orang lain, pasti sudah melibatkan perasaan dan hati. Kalau wanita, dua-duanya (selingkuh seks dan selingkuh emosional-red) enggak suka,”
www.forum-buku.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar