Meskipun usianya baru 40-an, Aamir Khan kini bukan hanya aktor. Seperti juga Shah Rukh Khan yang usianya lebih muda, Aamir juga seorang produser. Bahkan, sekitar lima tahun lalu, dia telah membuat film berjudul Lagaan. Film sejarah saat rakyat India melawan penjajah Inggris ini kemudian terpilih masuk nominasi hadiah Oscar untuk katagori film asing.
Setelah itu, Aamir Khan absen dari dunia film India selama empat tahun. Selama waktu yang lama itu dia mempersiapkan produksi filmnya berjudul The Rising (Kebangkitan), yang pada bulan Agustus lalu, bersamaan dengan masa edarnya di India, di putar di sejumlah bioskop Indonesia. Dalam film ini Aamir Khan berperan sebagai Mangal Pandey, warga India yang jadi prajurit Inggris, kemudian memberontak.
Dia berontak karena merasa ditipu British East India Company (semacam VOC-nya Inggris), yang ketika pada 1856 memperkenalkan penemuan senapan jenis baru. Untuk ditembakkan bagian ujungnya harus digigit terlebih dulu, seperti saat kita sebelum mengisap cerutu (lisong). Setelah itu bubuk mesiunya dimasukkan ke senapan dan siap ditembakkan. Salah satu campuran yang harus digigit adalah lemak (gajih) sapi dan babi.
Mengetahui sebagian tentara lokalnya beragama Hindu yang sangat memuliakan binatang tersebut, dan Islam yang mengharamkan babi, Inggris merahasiakan campuran itu. Namun akhirnya kasus tersebut terbongkar, setelah ditemukan gudang tempat membuat peluru. Dipimpin Mangal Pandey, baik Hindu maupun Muslim, sama-sama berontak melawan Inggris.
Cerita hampir sama terjadi saat pasukan Sekutu dipimpin balatentara Inggris, yang pada 29 September 1945 mendartat di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Di antara pasukan Sekutu yang berasal dari India (waktu itu Pakistan dan Bangladesh belum muncul), banyak terdapat tentara beragama Islam. Mereka umumnya dari suku Pathan yang sangat taat memeluk Islam. Suku Pathan berasal dari perbatasan antara India dan Afganistan (Nort West Frontier Provinst), bermarga Khan, seperti yang banyak kita dapati nama bintang Bollywood.
Pasukan sekutu yang dipimpin Lord Louis Mounbatten itu bertugas untuk melucuti tentara Jepang, dan menduduki Indonesia. Konon, ketika tentara India dilibatkan dalam pasukan Sekutu, mereka yang beragama Islam minta ketegasan Inggris, karena sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam. Mereka akan menolak jika memerangi saudara-saudaranya seagama. Tapi Inggris dengan liciknya menyatakan, bahwa justru diberangkatkan ke Indonesia untuk membantu rakyatnya yang sedang berperang dengan orang kafir.
Diantara pasukan sekutu ada yang bertugas di Surabaya, umumnya dari Brigade 49/Divisi India ke-23 di bawah komando Brigade Jenderal AWS Mallaby. Ketika pihak Sekutu mengeluarkan ultimatum agar para pejuang menyerahakan diri dengan mengangkat tangan paling lambat 10 November pukul 06.00, maka ultimatum itu dicuekin para pejuang. Dan, terjadilah peristiwa 10 Nopember 1945 hingga pihak Sekutu kewalahan menghadapi serangan para pejuang Indonesia. Terjadi pertempuran mati-matian. Sekutu mengerahkan lebih dari satu divisi infantri, yaitu Divisi India ke-5 beserta sisa Brigade Mallaby.
Diantara Brigade India, terdiri dari Hindu dan Muslim (waktu itu Pakistan belum terbentuk), disamping pasukan Gurkha. Dan, mereka yang beragama Islam tergetar hatinya ketika Bung Tomo, menyerukan takbir 'Allahu Akbar' mengajak para pejuamg berjihad mempertahankanm kemerdekaan. Pasukan India yang Muslim umumnya tidak bersedia memerangi saudaranya seagama. Bahkan ada yang lantas bergabung dengan para pejuang. Mereka merasa tertipu oleh Inggris, yang menjanjikan kedatangan mereka ke Indonesia untuk membantu rakyat memerangi kaum kafir. Apalagi setelah kemudian mereka masuk ke kampung-kampung, sambil bertanya 'Muslim?', yang oleh penduduk dijawab 'Muslim'.
Sepereti dituturkan Abdul Rachim Latif (65 tahun), warga keturunan India kelahiran Surabaya, pasukan Muslim India yang hengkang dari induk pasukannya kemudian tidak kembali lagi ke negaranya. Mereka kawin dengan wanita-wanita Indonesia. Mereka tinggal sedikit di luar kota Surabaya, di kawasan Bendul Merisi. Kini jadi Jl Bendul Marisi di belakang rumah sakit Dr Ramlan, Surabaya, berdekatan dengan Jl Jenderal Ahmad Yani Surabaya. Di sini, kata Abdul Rachim, ketika itu terdapat sekitar 100 KK pasukan Muslim India, yang kini sudah beranak cucu. Jasa mereka oleh pemerintah Indonesia tetap dihargai. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, tiap hari ulang tahun kemerdekaan RI mereka mendapat santunan. Hal yang sama juga diberikan pada masa Presiden Soeharto.
Bukan hanya di Surabaya, di Jakarta juga banyak tentara India Muslim yang tidak kembali ke negaranya, dan kemudian menjadi anggota TNI. Ketika menjadi pasukan sekutu, mereka akrab dengan penduduk dan juga datang ke rumah-rumah penduduk. Mereka juga shalat berjamaah dengan penduduk setempat. Mereka membagikan makanan dan barang-barang pada penduduk. Karena itu, saat revolusi fisik pasukan India yang Muslim tidak menjadi incaran tembak para pejuang.
(Alwi Shahab )
sumber : Republika, Minggu, 04 Desember 2005
Copy paste dari: http://bajul.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar