Wasior (ANTARA News) - Di mata Bungaliyah (35), Yusuf hanya anak sederhana yang rajin membantu orang tua, taat beragama dan perhatian pada seluruh keluarga.
Malam itu, beberapa jam sebelum air bah menerjang Wasior, anak lelaki berusia 13 tahun itu pamit keada kedua orang tuanya untuk menemui pamannya di Kampung Sanduay, sekitar 1,5 kilometer dari rumahnya di Wasior kampung, untuk mengantarkan makanan dan menginap.
Tidak ada firasat apa-apa, ketika Senin malam (4/10) itu Bungaliyah melepas Yusuf pergi. Langit juga bersahabat, sementara cuaca tidak menunjukkan tanda akan datangnya bencana.
Seperti malam-malam sebelumnya, Bungaliyah tidak mengira pamitnya sang buah hati adalah izin pergi untuk selama-lamanya.
Bungaliyah hanya ingat, terakhir kali melepas Yusuf adalah bayangan anaknya menghilang di kegelapan malam, saat berjalan kaki ke Desa Sanduay, Distrik Wasior, Teluk Wondama, Papua Barat.
Ingatan itu terbawa hingga hari ke sembilan dia mengungsi di Kampung Makassar di Kabupaten Manokwari, Papua Barat.
Ia kini terduduk lemah, tanpa selera makan, tanpa bisa senyum, tanpa punya keceriaan, tanpa semangat untuk kembali melanjutkan hidupnya.
Dia terus melamun, memikirkan anak sulungnya yang hilang tergulung lumpur, di Senin naas yang tiba-tiba datang bersama dengan banjir bandang yang memuntahkan ribuan batang pohon besar dan batu serta material lainnya.
Mata basahnya menerawang saat menceritakan tentang pagi itu. Tiba-tiba pagi itu suasana menjadi gaduh, warga yang tinggal di sekitar rumahnya menjerit-jerit. Air, pohon-pohon dan bebatuan meluncur dari atas bukit terjal yang berdiri kokoh di sepanjang garis pantai Wasior.
Dia mencoba lari bersama anak bungsunya Yunus (9), sementara suaminya sedang di pasar untuk berjualan bakso.
Setelah sempat terhempas air berlumpur, dia dan anak lelakinya terdampar di daratan yang menjorok ke laut lepas dengan tubuh lemas dan pikiran yang terguncang karena terlalu terkejut dengan banjir bandang itu.
Setelah itu dia genggam anak bungsunya dan menyisir seluruh wilayah sekitar tempatnya berdiri. Ratusan orang berlari di depannnya ke segala arah, sementara beberapa mayat bergelimpangan di hadapan matanya.
Dia lantas berlari ke arah bandara. Di situlah dia bertemu sang suami yang tampak lusuh dan basah karena baru saja terjepit batang pohon dan terhempas lumpur. Dia bernafas lega, keluarganya berkumpul.
Namun kelegaan tersebut hanya sementara, karena suami istri tersebut sadar, anak sulung mereka tidak bersama mereka. Keduanya berharap Kampung Sanduay tempat anaknya berada aman-aman saja.
Sayang, harapan titu pupus ketika Ambodale (45) paman yang rumahnya menjadi tujuan Yusuf menginap tiba-tiba datang dengan sorot mata getir dan luka di kedua tangannya.
"Yusuf hilang, dia terlepas dari tangan saya, saya tidak bisa menemukan Yusuf, maafkan saya," kata Ambodale seraya memeluk Sulaiman (40), adiknya yang adalah ayahnya Yusuf.
Ambodale bercerita, diaa sempat bertahan 15 menit dengan Yusuf dari sapuan bongkahan pohon dan batu yang menjepit tubuh mereka. Desakan lumpur seakan hendak menelan mereka hidup-hidup.
Jepitan batang-batang pohon besar yang menghimpitnya semakin banyak hingga akhirnya dia tidak kuasa dan tangan Yusuf pun terlepas dari genggamannya.
Dia masih mendengar Yusuf mengumandangkan azan hingga akhirnya tenggelam dan hilang dari permukaan. Setelah itu, dia tidak bisa menemukan tubuh Yusuf lagi.
Mendengar cerita saudaranya itu, sontak tubuh Bungaliyah dan suaminya bergetar hebat. Mereka merasa tengah bermimpi, dan tidak mempercayai kabar yang dibawa Ambodale itu.
Keduanya langsung memutuskan berjalan kaki, mencari Yusuf ke Desa Sanduay. Hanya saja air masih mengalir deras, sedangkan ribuan kayu dan batu yang tercecer di jalan menciutkan nyali mereka untuk terus mencari Yusuf.
Akhirnya mereka mundur ke Wasior Kampung dan menunda mencari Yusuf.
Namun, sampai 13 hari setelah banjir hebat itu, mereka belum juga bisa menemukan jenazah Yusuf.
"Saya berharap bisa menemukan Yusuf, jikapun dia sudah meninggal setidaknya saya menemukan jenazahnya," katanya.
Tapi Bungaliyah malah kian terpukul oleh keadaan itu. Dia sangat berduka, bahkan suami dan anak bungsunya yang kini berada bersamanya di pengungsian tidak bisa menghibur hatinya.
Sampai 13 hari setelah bencana, ibu itu masih saja menangis sepanjang hari.
Kini Bungaliyah tengah mengikuti terapi penghilang trauma atau "trauma healing" dari tim medis lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT).
Setiap menjalani terapi, Bungaliyah selalu menangis, air mata kembali tumpah manakal terapi diulang keesokan harinya. Setiap terapi, dia selalu bercerita tentang Yusuf dengan air mata berlinang. Keeseokan harinya dia menceritakan hal yang sama tentang Yusuf.
Adhe Badry Mukry dari tim medis ACT mengatakan, Bungaliyah memiliki trauma yang sangat mendalam.
Namun dia yakin dalam beberapa kali terapi, trauma tersebut lambat laun hilang dan Bungaliyah bisa kembali menjalani hari-harinya dengan normal.
Ketika meninjau Wasior, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Pemerintah Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, membangun pusat pemulihan trauma bagi korban banjir bandang Wasior yang mengungsi di sejumlah tempat.
Pusat trauma melibatkan ahli-ahli bidang psikologi untuk menguatkan dan memulihkan mental para korban banjir.
Diambil dari : antaranews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar