Jumat, 26 November 2010

Dicari: Koloni Bumi di Luar Angkasa

Agar tak musnah, di masa depan manusia diimbau mencari tempat huni lain di luar Bumi . 

Tubuh lelaki itu terikat di tiang pancang di Campo dei Fiori. Giordano Bruno, lelaki 52 tahun itu dihukum bakar hidup-hidup. Darahnya belum kering ketika api menyulut tiang itu. Tubuh Bruno hangus. Hari itu 19 Februari 1600, sang filsuf dan astronom itu, tamat dengan tragis.



Abunya dibuang di Sungai Tiber. Semua karyanya dimasukkan dalam Index Librorum Prohibitorum, daftar buku terlarang Gereja Katolik Roma pada 1603. Bagi inkuisisi Roma, Bruno adalah penyeru bidah. Dia menentang gereja, yang sedang melawan pandangan Copernicus.

Bruno, pendukung Copernicus itu, yakin bahwa Matahari, dan bukannya Bumi, menjadi pusat tata surya. Temuan Copernicus itu kelak mengubah pola pikir dunia manusia modern untuk selamanya.

Awal abad ke-20, kenyataan itu kian terang. Alam semesta tak terbatas. Dari atas Gunung Wilson, Edwin Hubble menggunakan teleskop terbesar di jamannya, dan dia menemukan nebula di langit adalah kumpulan pulau-pulau bintang yang jaraknya jauh dari galaksi kita. Tiap pulau terdiri dari miliaran bintang.

Hasil pengamatan Hubble membuktikan potensi planet yang bisa dihuni tak terhingga. Namun hampir seabad berlalu, tak ada bukti meyakinkan tentang keberadaan dunia yang bisa dihuni.

Menurut data dari situs Jet Propulsion Laboratory NASA, tonggak penemuan planet ekstrasolar terjadi pada tahun 1994 ketika Dr Alexander Wolszczan, astronom radio di Pennsylvania State University  menemukan 'bukti tak terbantahkan' tentang sistem planet ekstrasolar.

Wolszczan menemukan 2-3 obyek mengorbit pulsar --bukan bintang normal, di konstelasi Virgo. Pulsar adalah sisa-sisa ledakan supernova padat. Namun, temuan tersebut jadi perdebatan. Sebab, planet temuannya bermandikan sinar radiasi tinggi, dan tak mungkin dihuni mahluk.

Penemuan pertama planet yang mengorbit bintang -- yang mirip Matahari -- terjadi pada 1995. Tim astronom Swiss dipimpin Michel Mayor and Didier Queloz menemukan planet yang mengorbit di dekat Bintang 51 Pegasi.

Planet itu berukuran sekira setengah massa Yupiter sampai tak lebih dari dua kali planet terbesar dalam tata surya kita itu.

Penemuan ini lalu diikuti banyak temuan lain.  Tiga bulan kemudian, tim yang dipimpin oleh Geoffrey W. Marcy dan Paul Butler dari San Francisco State University dan University of California Berkeley mengkonfirmasi temuan tim Swiss. Mereka bahkan menemukan dua planet lain.

Mencari alien
Profesor Riset Astronomi dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin mengatakan, sebenarnya pencarian planet mirip Bumi adalah pencarian terhadap kemungkinan adanya kehidupan lain selain di bumi.
“Tujuan untuk menemukan tempat lain yang bisa dihuni oleh manusia, sebenarnya cuma melengkapi,” kata dia ketika dihubungi VIVAnews, Kamis 6 Oktober 2010. Ada perbedaan pandangan soal kehidupan lain di luar Bumi, pertama, kehidupan itu bisa berupa apapun termasuk mikroba.
Sementara, kecenderungan anggapan benda langit dihuni mahluk cerdas seperti manusia menjadi trend di abad ke-20.  Ini diperkuat laporan penampakan UFO (unidentified flying object) atau dalam Bahasa Indonesia disebut BETA (benda terbang aneh) – istilah yang dipopulerkan Ketua LAPAN era 1960-an, RJ Salatun.
Ilmuwan memperkirakan kehidupan ada di planet layak huni mirip dengan Bumi.  ” Yang memiliki sumber panas. Tapi tidak terlalu panas, dan tidak terlalu dingin. Selain itu seperti juga bumi, planet itu padat, bukan gas, dan memiliki atmosfir, dan juga adanya air,” jelas Thomas Djamaluddin.
Ada tiga syarat utama sehingga sebuah planet bisa dibilang layak huni, yakni harus adanya sumber panas, air, dan adanya kehidupan organik.  Di tata surya kita, ada beberapa lokasi kandidat penyimpan kehidupan, yakni Planet Venus, Mars, satelit Yupiter – Europa, satelit Saturnus – Enceladus dan Titan.
Titan memiliki danau metana dan etana. Juga Enceladus dengan uap-uap airnya. Sementara Mars, yang terdekat dengan Bumi  memiliki deposit sulfat. Di Bumi, sulfat adalah lokasi penyimpanan  organisme kuno.
Seperti dimuat situs Christian Science Monitor (CSM), di Mars terdapat lokasi kaya mineral disebut Nili Fossae. Diduga itu jejak kehidupan purba di Mars, mungkin sekitar 4 juta miliar tahun lalu. Kondisi Nili Fossae mirip daerah East Pilbara di Australia Barat --yang menyimpan bukti keberadaan kehidupan di masa awal Bumi.
Sementara, dari lebih 490 planet di luar tata surya (ekstrasolar) yang sudah diketahui, baru satu planet yang datanya cukup lengkap untuk disimpulkan berada pada "zona layak huni" bagi kehidupan: Planet Gliese 581g.
Sinyal aneh
Selagi menyusur planet mencari tanda kehidupan, para ilmuwan di Bumi terus memonitor kemungkinan adanya transmisi dari planet lain – dengan asumsi ada mahluk cerdas selain manusia.

Khususnya yang dilakukan oleh organisasi SETI (Search for Extra-terrestrial Intelligence). SETI diharapkan membuat lompatan dengan menggunakan Allen Telescope Array -- jaringan piringan radio yang sedang dalam proses pembangunan di California utara. Pada tahun 2015 diharapkan, array itu bisa memindai ratusan ribu bintang untuk mencari tanda-tanda kehidupan mahluk ekstraterresterial.

Pada Desember 2008, Dr Ragbir Bhathal, ilmuwan dari University of Western Sydney mengaku melihat sinyal aneh dari orbit bintang cebol, Gliese 581, jauh sebelum diumumkan bahwa ada planet yang bisa dihuni mahluk hidup -- Gliese 581g.
Tak kurang dari astrofisikawan tenar, Stephen Hawking meyakini  keberadaan alien. Dalam seri Discovery Channel, ia bahkan memperingatkan manusia untuk berhati-hati melakukan kontak dengan kehidupan asing di luar bumi. Para alien itu mungkin tak ramah.

Badan Antariksa Amerika Serikat, NASA juga tak menampik kemungkinan adanya alien cerdas di suatu tempat di alam semesta. NASA mengirim sinyal ke luar angkasa berupa sebuah tembang dari grup pop legendaris, The Beatles.

Tembang itu berjudul, "Across the Universe" (Melintasi Alam Semesta). Sama seperti Hawking, para ilmuwan NASA percaya bahwa ada kehidupan lain di luar Bumi, bahkan di luar galaksi yang dihuni Matahari dan keluarganya.

Tembang itu dikirim NASA pada 4 Februari 2008 dari stasiun transmisi Deep Space Network di Madrid, Spanyol. Sinyal itu disampaikan ke Bintang Utara (North Star), di jagat Polaris, yang berjarak sekitar 4.000 triliun km dari Bumi. Itulah sebabnya, menurut perhitungan NASA, sinyal itu dengan kecepatan 186.000 mil per detik tampaknya baru sampai ke tujuan pada tahun 2439.

Koloni baru di luar Bumi

Meski berkata, “hati-hati dengan alien”, Stephen Hawking memberikan dukungan 100 persen pada penjelajahan angkasa. Dia mendesak manusia segera mencari koloni Bumi. Masa depan spesies manusia, kata dia, 'berada di ruang angkasa'.

Hawking memperingatkan koloni harus segera ditemukan dalam beberapa abad, atau spesies manusia bisa punah. Daya dukung Bumi makin lemah, dan Hawking cemas, manusia ada dalam bahaya besar.

Ancaman terhadap eksistensi manusia bisa berarti perang, penurunan sumber daya alam, dan overpopulasi membuat risiko hidup di Bumi berkali lipat.  "Sangat sulit menghindar dari bencana dalam beberapa ratus tahun mendatang, apalagi dalam ribuan, atau jutaan tahun ke depan," kata Hawking kepada situs Big Think, seperti dimuat laman Telegraph, 9 Agustus 2010.

"Satu-satunya agar manusia bisa bertahan dalam jangka waktu lama adalah untuk tidak tergantung pada Bumi. Manusia harus pindah, menyebar di luar angkasa," kata dia.

Penyebaran ke luar angkasa tak semudah membalik telapak tangan. Mengekplorasi planet lain adalah tantangan berat. Apalagi mengkondisikannya sebagai koloni Bumi.

Upaya Indonesia

Meski jarang terdengar di percaturan astronomi dunia, Indonesia tak tinggal diam. Kepala Balai Observasi Boscha, Hakim L Malasan mengatakan, sejak 2004, Boscha juga telah melakukan penelitian terhadap planet-planet mirip Bumi.

"Sebenarnya teknik yang mereka [ilmuwan penemu Glise 581g] gunakan sama dengan teknik yang kita lakukan hanya saja instrumen yang mereka gunakan lebih canggih, mereka menggunakan teropong yang lensanya berdiameter 1,5 sedangkan kita hanya punya diameter 60cm dan 40cm, jadi redup saat mengamatinya," jelas Hakim.

Terbatasnya dana jadi kendala utama. Alih-alih menyisir langit, penelitian teoritis lebih ditekankan. Padahal, tak mahal membangun teropong optik. “Hitungan saya hanya butuh Rp10 miliar untuk membangun teropong beserta bagunannya, ini sangat berguna demi perkembangan astronomi Indonesia," harapnya.

Namun, Hakim membantah Indonesia terisolasi dalam dunia astronomi. Salah seorang putra bangsa, Jony Setiawan, memimpin peneliti ekstrasolar planet di Jerman, karena di sana instrumennya lebih mendukung.

Penemuan planet layak huni di luar tata surya belum jadi solusi bagi manusia. "Permasalahannya ada di alat transportasi menuju kesana sekitar 20 tahun cahaya  atau 200 triliun kilometer. Jika pesawat yang digunakan dalam wahan ruang angkasa saja hanya mempunyai kecepatan 70 ribu km/jam, bisa dibayangkan kapan sampainya," kata Hakim.

Para peneliti, kata Hakim, cenderung mencari cara bagaimana agar planet terdekat bisa dihuni. "Dari pada mencari cara membuat alat transportasi ke Glise 581g, penelitian sekarang cenderung lebih mencari cara agar Mars bisa dihuni," tambah dia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar